Sejak sukses fenomenal Die Hard (1988), empat sekuelnya muncul sepanjang tiga dekade ini namun tidak satu pun mendekati kualitas film pertamanya dari sisi mana pun. Formula plot sekuel demi sekuel boleh jadi memiliki kesamaan namun yang berbeda adalah skala cerita yang semakin meluas dan sekuen aksinya yang semakin menggila.

Die Hard 2: Die Harder bisa dibilang adalah yang paling mendekati Die Hard terutama dari segi plot. Lokasi kali ini berpindah ke airport dan sekawanan teroris mengambil alih kendali airport secara penuh untuk tujuan membebaskan seorang jendral yang menjadi tahanan perang militer AS. McClane yang tengah menanti pesawat yang ditumpangi istrinya kembali terjebak dalam situasi seperti sebelumnya. McClane mau tidak mau harus berurusan dengan para teroris karena bahan bakar pesawat yang ditumpangi istrinya juga beberapa pesawat lainnya semakin menipis.

Lokasi di airport yang luas dan dipenuhi ribuan orang memang dua hal yang membuat baik kisah dan aksi-aksinya menjadi menarik. Seperti sebelumnya McClane kali ini juga beraksi sendiri, “one man show”, menghabisi satu demi satu para teroris, dari bawah hingga pucuknya. Aksi-aksi McClane walau dirasa terlalu heroik namun motif cerita yang kuat (ingin menyelamatkan istrinya) membuat segala aksinya menjadi sah-sah saja. Kejutan di akhir cerita juga menambah sedikit ketegangan karena nasib semuanya kini tergantung McClane seorang. Adegan-adegan aksinya seru dan menegangkan, tercatat aksi McClane dan kursi pelontar pesawat, mirip dengan aksinya ketika ia melompat dari Gedung Nakatomi di seri pertama. Secara keseluruhan Die Hard 2 adalah film aksi yang sangat menghibur dan memperkaya tema plot sejenisnya.

Die Hard with A Vengeance atau Die Hard 3 sedikit berbeda dari dua film sebelumnya dari segi cerita. Skala cerita meluas ke wilayah satu kota New York. Plotnya memang agak terasa memaksa menghubungkan McClane dengan teroris yang ternyata gembongnya adalah adik dari Hanz (pimpinan teroris seri pertama). Balas dendam rupanya hanya kedok untuk mencuri cadangan emas di bank central kota New York. Tidak seperti sebelumnya, kali ini McClane tidak berada di waktu dan tempat yang salah namun justru para teroris memilih orang yang salah. Seperti sebelumnnya McClane satu demi satu menghabisi para teroris dan kini tidak sendiri namun bersama sang “partner”, Zeus, (Samuel L. Jackson).

Plot cerita di awal sebenarnya sangat menarik. McClane dan Zeus harus pontang-panting kesana-kemari ke segala penjuru kota berpacu dengan waktu untuk memecahkan teka-teki agar mencegah bom meledak. Namun ketika motif para teroris sesungguhnya terkuak ketegangan cerita justru terasa berkurang. Bicara soal aksi bisa jadi film ini adalah yang paling full action dibandingkan seri Die Hard lainnya, sejak awal hingga akhir, nyaris tanpa henti. Ledakan bom, aksi ngebut di jalanan, aksi di kereta api, kapal peti kemas, di lorong bawah tanah, bahkan hingga di elevator, semuanya disajikan dengan heboh. Hanya saja sosok McClane kini berubah menjadi lebih nekat tanpa perhitungan serta motif lain yang lebih memadai. Bahkan nyawanya saja tidak dalam bahaya, contohnya saja ketika ia dan Zeus meloncat jembatan untuk bisa naik ke kapal peti kemas. Sungguh tidak masuk akal.

Baca Juga  Silver Linings Playbook, Naskah Brilian Berbalut Akting Menawan

Life Free or Die Hard atau Die Hard 4.0 mencoba mengembalikan plotnya seperti dua film awalnya namun dengan skala cerita yang lebih luas dari tiga film sebelum ini. John McClane kini harus berhadapan dengan para teroris yang lebih canggih dari sebelumnya yang mengambil-alih seluruh kota melalui jaringan koneksi cyber. McClane mulai terlibat dalam urusan ini ketika ia menyelamatkan salah satu hacker, Matthew Farrell dari sekawanan teroris yang ingin membunuhnya. McClane bersama Matt dalam perkembangan terlibat semakin jauh dan harapan hanya tertumpu pada mereka berdua karena otoritas tak mampu berbuat banyak menghadapi situasi ini.

Plotnya jauh lebih baik dari seri ketiga dan McClane kembali terjebak dalam situasi “orang yang salah dan di waktu yang salah”. Lucky him. McClane yang hanya mahir beraksi fisik mampu diimbangi oleh Matt yang jagoan di dunia cyber. Cerita menjadi semakin memanas ketika para teroris menculik putri McClane, Lucy yang baru kali pertama ini muncul dan beraksi. Sekuen aksi tercatat adalah yang paling heboh diantara semua seri Die Hard. Len Wiseman yang menjadi sutradaranya memang amat piawai menangani semua adegan aksinya. Seperti dalam adegan klimaks, McClane yang mengemudikan truk besar harus berhadapan dengan pesawat jet yang memburunya. Dari seluruh seri film Die Hard, film ini tercatat adalah film yang paling menghibur dari sisi aksinya.

A Good Day to Die Hard atau Die Hard 5 yang baru lalu rilis tercatat adalah yang terburuk diantara kelima seri Die Hard. Film ini menghilangkan segala keistimewaan yang ada pada seri ini baik dari sisi cerita maupun aksi. Untuk kali pertama John McClane beraksi di luar wilayah AS, yakni Rusia. McClane yang awalnya hanya ingin mengunjungi puteranya berbuah menjadi petaka, dan ia terjebak dalam situasi seperti film-film sebelumnya. Kelemahan yang paling mendasar dalam film ini adalah motif cerita. Tidak ada motif yang kuat dan jelas untuk mendasari aksi gila-gilaan McClane dan puteranya. Untuk apa mereka melakukan itu semua, toh itu juga bukan urusan mereka dan mengapa harus peduli? Ini yang tidak mampu terjawab. Aksinya juga tidak seperti sebelumnya tak ubahnya film aksi kelas B. Bujet produksi yang lebih rendah dari seri keempatnya mungkin menjadi satu penyebab. Usia Bruce Willis yang semakin uzur boleh jadi adalah penyebab lain.

Secara keseluruhan sejak Die Hard 2 hingga seri 5 semata hanya dibuat untuk tuntutan komersil dan formula ini terbukti berhasil. Nama John McClane lebih besar dari nama dan karisma sang aktor sendiri. Seri kelima yang kualitasnya terburuk pun hingga artikel ini ditulis telah meraup pendapatan kotor lebih dari dua kali lipat bujet produksinya. Bruce Willis sendiri menyatakan akan bermain dalam seri ke 6. John McClane sudah terlalu tua untuk beraksi namun jika memang diproduksi, tidak ada salahnya menggunakan kembali konsep dan formula seri pertama Die Hard yang telah membesarkan seri ini. Apapun faktanya, seri Die Hard adalah tercatat sebagai seri film aksi murni tersukses sepanjang sejarah sinema.

Artikel SebelumnyaThe Rock, Adaptasi “Die Hard” Terbaik
Artikel BerikutnyaDie Hard, Pelopor Film Aksi Teroris Modern
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.