Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang

Kehadiran Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini tiga tahun lalu menarik cukup banyak perhatian dari khalayak sinema lewat drama keluarganya. Sang sineas pun menghadirkan kisah lanjutannya lewat sekuel arahannya, Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang. Sedikit berbeda dari film pertama, kali ini Angga Dwimas Sasongko turut andil dalam penulisan naskahnya bersama Mohammad Irfan Ramly dan sang empunya novel, Marchella F.P. Film produksi Visinema Pictures, Legacy Pictures, dan XRM Media ini masih diisi oleh Sheila Dara, Rio Dewanto, dan Rachel Amanda, ditambah kehadiran Lutesha, Jerome Kurnia, dan Ganindra Bimo. Usai direstui ayah dan ibu untuk menempuh studi di luar negeri, apakah Aurora mendapatkan tempat terbaiknya?

Aurora (Sheila) telah diizinkan oleh kedua orang tuanya untuk menempuh studi di London. Namun, ia justru mengalami berbagai masalah besar saat mendekati masa-masa akhir perkuliahannya. Hidup di perantauan tidak pernah mudah bagi siapa pun dengan level ekonomi rata-rata. Ditambah lagi, Aurora masih harus menghadapi berbagai macam tuntutan dari orang-orang rumah di Jakarta, termasuk dari kedua saudaranya sendiri, Angkasa (Rio) dan Awan (Rachel). Kontan saja Aurora merasa lebih nyaman menganggap Honey (Lutesha) dan Kit (Jerome), sahabatnya di London, sebagai tempat untuk pulang. Apalagi bagi Aurora, yang ingin lebih banyak mendapat kepercayaan untuk menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri tanpa terkekang.

Mengadaptasi kisah drama dari dalam novel ke bentuk visual memang selalu menjumpai persimpangan jalan. Bisa jadi lebih bagus, sama saja, atau lebih buruk. Belum lagi ketika harus menilainya menggunakan parameter aspek-aspek filmis. Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang mengejawantahkan lanjutan cerita dari Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini bak tengah membaca buku sambil mendengarkan lagu. Secara rasa, jika kita sedang membahas pengalaman membaca buku, untuk sekilas ini bagus. Tampak indah dengan kesan visualisasi novel dan lagu. Namun, bukankah JyJJLP adalah film? Malahan, NKCTHI lebih filmis ketimbang sekuelnya ini.

Perbedaan di antara keduanya terletak pada cara penuturan cerita yang tersegmentasi seperti pembagian bab dalam buku serta jumlah lagu pengiringnya. Satu sisi, setiap lagu tersebut memang senada dengan emosi dalam cerita dan visualnya. Namun, di sisi lain eksekusi semacam ini justru makin mendekatkan kesan Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang sebagai album yang berisi lagu-lagu untuk mahasiswa di perantauan. Penonton memang dapat berempati ke para tokoh dan bisa merasakan emosi dalam kisahnya, tetapi bukan sebagai film yang solid. Aura, atmosfer, dan nuansa film ini justru lebih mirip Surat dari Praha.

Kendati demikian, problematika mahasiswa di perantauan dengan kesulitan ekonomi dan segala tuntutannya dalam JyJJLP, cenderung berdampak lebih besar terhadap penonton dengan kondisi serupa. Bagaimanapun, patut diakui kematangan olah peran Sheila Dara yang mampu menyampaikan dengan baik uneg-unegnya sebagai Aurora kepada dua saudaranya, Angkasa dan Awan. Peran krusial dua tokoh tersebut sebagai saudara bagi Aurora juga pada akhirnya digantikan oleh Honey dan Kit. Kita tahu betapa tertutupnya sosok Aurora di belakang Angkasa dan Awan dalam NKCTHI, baik sebagai tokoh cerita maupun sebagai Rio, Sheila, dan Rachel.

Baca Juga  Ancika: Dia yang Bersamaku 1995

Visual Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang juga tak kalah mencuri perhatian sepanjang film. Dengan tone gelap yang terus mengiringi Aurora sebagai metafora bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Jarang sekali dia ditunjukkan dengan visual yang lebih terang. Begitu pula lewat warna-warna busananya. Hanya pada momen tertentu dia mengenakan warna-warna cerah (walau tak mencolok), saat akhirnya berkesempatan untuk lebih terbuka. Namun, betapapun cerah dan terangnya tone dan warna-warna dalam JyJJLP, London tetap saja London. Yang gelap masih dibuat lebih dominan oleh sang sineas.

Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang menyampaikan emosinya dengan baik, tetapi bukan sebagai film yang solid. Meskipun sang sineas memang masih menerapkan beberapa trik estetik untuk mengemas JyJJLP agar tampak filmis. Masalahnya hanya terletak pada cara menghadirkan tiap-tiap segmen cerita dan jumlah lagunya saja. Namun, terlepas dari semua itu, kita masih bisa percaya terhadap film produksi Visinema ketika Angga Sasongko yang menjadi sutradara maupun penulisnya. Ia punya nalar dan rasa yang baik dalam mengolah cerita-cerita besar, terutama genre drama. Meski tidak semua filmnya menghasilkan kualitas yang sama. Namun, setidaknya kita tahu betul keseriusannya sebesar apa dalam medium ini.

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaCinderella Chef dan Sekilas Tentang Animasi China
Artikel BerikutnyaPathaan
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.