Lorong merupakan film horor yang disutradarai oleh Hestu Saputra dengan rumah produksi MVP Pictures. Seperti kita tahu, sineas telah memproduksi beberapa film roman seperti, Cinta tapi Beda (2012), Perfect Dream (2017), Hujan Bulan Juni (2017), dan Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014). Film ini adalah debut sang sineas menggarap film horor. Sialnya, film ini rilis bersamaan dengan Warkop DKI Reborn 3 yang mendapatkan jumlah studio yang lebih banyak. Tampaknya jelas mustahil untuk bersaing.

Dikisahkan pasangan muda, Mayang (Prisia Nasution) dan Reza (Winky Wiryawan), tengah dalam proses persalinan anak pertama mereka. Tak diduga, bayi mereka dikabarkan tak selamat, namun sang Ibu amat yakin jika bayinya masih hidup. Mayang justru dianggap berhalusinasi. Dengan keyakinannya, Mayang terus mencari jabang bayinya, walau banyak rintangan dari pihak rumah sakit dan hal-hal mistis yang juga mengganggu.

Menariknya, sang sineas menerapkan plot filmnya dalam setting terbatas di dalam bangunan rumah sakit. Hampir sepanjang film, adegan berada di rumah sakit. “Lorong” jelas mengarah pada jalan lorong yang sangat dominan digunakan dalam filmnya. Plotnya juga beberapa kali menggunakan teknik flashback untuk menggambarkan adegan kebersamaan dengan sang suami sebelum melahirkan. Momen ini menunjukkan sisi romantik kedua tokohnya.

Dari sisi pembatasan ruang cerita tentu menarik karena kisahnya bisa lebih fokus. Namun, dalam setting terbatas pun ternyata tak semudah yang dibayangkan karena perlu mengeksplorasi ruang-ruang di rumah sakit tersebut. Walaupun sang sineas sudah mencoba melakukan ini, namun masih terasa minim. Rumah sakit sebesar itu masih terlihat kurang digali ruang demi ruang dan terlihat sempit. Sang sineas bisa saja memanfaatkan berbagai sudut ruang dan lorong rumah sakit untuk menggambarkan situasi horor dan ketegangannya, misal saja dengan teknik montage sehingga skala setting terlihat lebih luas.

Baca Juga  Tanah Air Beta, Menggugah Rasa Nasionalisme?

Konteks waktu cerita beberapa kali terlihat kabur. Terdapat lubang plot yang membuat kisahnya janggal. Satu adegan ketika Mayang melarikan diri dan menyusuri lorong dan sudut rumah sakit semalaman hingga pagi harinya. Tiba-tiba adegan begitu saja berganti dengan menunjukkan waktu telah sore. Lalu di mana Mayang seharian dan melakukan apa? Padahal jelas kondisi fisiknya lemah.

Kombinasi horor thriller dalam film ini terasa serba tanggung. Di beberapa adegan awal, seperti investigasi yang dilakukan Mayang, sebetulnya sudah memantik rasa penasaran penonton. Beberapa momen, tone filmnya cenderung lambat dan membosankan. Dari sisi horor, sulit bagi penonton merasakan intensitas ketegangan horornya. Beberapa adegan yang mengeksplor sosok setan terasa hambar. Dari sisi teknis pengambilan gambar serta musik pun juga tidak mampu mendukung plotnya.

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaWarkop DKI Reborn 3
Artikel BerikutnyaRambo: Last Blood
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.