Rambo: Last Blood (2019)
89 min|Action, Crime, Thriller|20 Sep 2019
6.1Rating: 6.1 / 10 from 110,709 usersMetascore: 26
Rambo must confront his past and unearth his ruthless combat skills to exact revenge in a final mission.

Siapa yang tak kenal John Rambo? Sama seperti halnya Rocky yang diperankan Stallone, Rambo adalah satu sosok legendaris dalam sejarah sinema. Setelah tiga film pertama yang dirilis pada dekade 1980-an, sekuelnya diproduksi dua dekade kemudian, Rambo (2008), yang tak lagi memiliki karisma dan enerji yang sama. Satu dekade kemudian, rupanya Stallone masih ingin menutup kisah sang jagoan dengan gayanya. Naskahnya, bahkan ia tulis sendiri dengan arahan dari Adrian Grunberg yang sebelumnya berpengalaman membuat film bernuansa kartel (Get the Gringo) bersama Mel Gibson. Stallone terbukti telah berhasil menghidupkan kembali karakter Rocky dalam Balboa dan seri Creed. Bagaimana dengan Rambo?

Kisahnya sederhana saja. John yang kini tinggal di tanah kelahirannya di Arizona, menghabiskan sisa hari tuanya bersama adik angkat dan keponakannya, Gabrielle. John selama ini rupanya masih trauma dengan masa lalunya yang dihantui rasa bersalah karena kematian rekan-rekannya. Suatu ketika, sang ponakan pergi ke Meksiko untuk mencari ayah kandungnya, sekalipun John pernah melarangnya. Gabriele akhirnya terperangkap dalam sindikat perdagangan perempuan yang didalangi satu kartel lokal. John mencoba menyelamatkan sang ponakan dengan cara yang ia kuasai benar, jalan kekerasan.

Apa yang kita harapkan dari sosok macam John Rambo? Kita tahu persis, plotnya hanya menggiring agar Rambo melakukan aksi-aksi yang memang ia terlahir untuk ini, yakni perang dan membunuh musuh. Rambo: Last Blood menampilkan semuanya tanpa terkecuali dengan cara yang jauh lebih sadis dan brutal dari semua seri sebelumnya. Isu perdagangan manusia sebenarnya sudah digulirkan secara menarik, namun arah kisahnya berjalan ke arah yang salah. Agak mengherankan, dengan aksi sadis seperti ini, rating film ini hanya 17 tahun ke atas (bukan 21 tahun ke atas). Mungkin sebagian fans Rambo menikmati ini tapi jelas tidak untuk saya.

Baca Juga  Batman v Superman: Dawn of Justice

Apa yang dilakukannya kali ini hanya semata karena amarah dan dendam. Setelah semua pengalaman hidup mati yang terjadi padanya, rupanya John masih belum beranjak bijak. Pada seri-seri sebelumnya, ia membunuh karena ia memang terpaksa melakukannya untuk membela diri, namun apa yang ia lakukan sekarang sangat jauh dari itu. Seperti mengutip kata-kata sang mentor, Kolonel Trautman, “Tuhan Maha Pengasih dan Pengampun, namun Rambo tidak”. Secara literal, kini Rambo berubah menjadi sosok dewa kematian. Tanpa ada rasa sisi manusiawi ia membantai semuanya dengan ultra brutal dan kejam. Sangat menyedihkan, ketika menonton film ini, beberapa orang tua justru membawa putra-putri mereka yang masih kecil. Mungkin mereka pikir, Rambo masih bisa menjadi teladan putra-putri mereka seperti jaman ketika menontonnya dulu.

Rambo: Last Blood bukan hanya film yang buruk, namun juga tak memiliki value. Tribute film ini untuk satu sosok ikonik dalam sejarah sinema, hanyalah satu hal, yakni KEMATIAN. Film ini justru membunuh sosok John Rambo dengan plotnya tanpa ada sisi manusiawi yang bisa kita ambil. Satu nilai pun tak ada dalam filmnya, selain amarah dan kebencian. Saya tak berharap, Stallone dapat mengangkat karakternya seperti yang ia lakukan dengan sosok Rocky dalam seri Creed. Tapi, John Rambo sepertinya butuh penghargaan yang lebih dari sekadar ini semua. Tidak ada poin untuk film ini karena memang Last Blood tak memiliki poin. Poin macam ini sudah banyak kita lihat di berita masa kini yang memberitakan kebencian, kekerasan, ketamakan, bencana, serta hal-hal tak masuk akal lainnya yang jauh dari nilai-nilai luhur manusia.

PENILAIAN KAMI
Artikel SebelumnyaLorong
Artikel BerikutnyaAd Astra
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

6 TANGGAPAN

  1. Kritikus yang gak bisa enjoy film apa adanya ya ini, semua film aja sekalian gak kasih nilai, sok sok an kritik,buat film aja kagak,apresiasi lah,nonton kok dibuat serius,pansos

  2. Saya rasa film rambo layak mendapat nilai atas pencapaiannya. Apalagi ini adalah jenis film action. Adalah naif menilai genre action dg penilaian drama dan humanis. Kecuali anda adalah directornya, mungkin anda bisa mengubah sesuai skenario anda.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.