Ditulis oleh:

Purwoko Ajie

Teman yang baik, tidak menghakimi. Teman yang baik, tidak menyudutkan. Dan teman yang baik, membantu kita mengenal siapa kita sesungguhnya.
(Rara dalam Imperfect, 2019)

 

Prolog

Isu bullying telah menjadi sorotan dalam berbagai diskusi sosial di Indonesia, terutama karena dampaknya yang merusak terhadap perkembangan psikologis dan sosial anak-anak serta remaja. Fenomena ini tidak hanya dialami oleh remaja, tetapi juga terjadi pada orang dewasa yang sering kali berakhir tragis, termasuk dengan tindakan mengakhiri hidup. Kasus perundungan terbaru pada Agustus 2024 menimpa Aulia Risma Lestari, seorang dokter muda yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro (UNDIP). Aulia ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya, diduga akibat bunuh diri yang dipicu oleh tekanan berat dan perundungan yang dialaminya selama menjalani pendidikan di Rumah Sakit Kariadi, Semarang. Investigasi oleh Kementerian Kesehatan dan pihak kepolisian mengungkap bukti berupa catatan harian dan pesan WhatsApp, menunjukkan kuatnya tekanan psikologis yang dialami korban. Kasus ini memicu reaksi keras dari publik dan pemerintah, mendorong evaluasi mendalam terhadap budaya perundungan dalam program pendidikan kedokteran di Indonesia (Antara News, 2024; Voi.id, 2024). Lalu, apa yang membuat kasus serupa terus berulang? Mengapa perundungan begitu sering terjadi dan berakhir dengan hal-hal yang tragis?

Sinema Indonesia mencoba merespon fenomena ini dengan menciptakan narasi yang tidak hanya menggambarkan realitas bullying, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan dampak jangka panjang yang dialami oleh para korban. Film-film seperti Dear Nathan (Indra Gunawan, 2017), A: Aku, Benci & Cinta (Rizki Balki, 2017), dan Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan (Ernest Prakasa, 2019) berfungsi sebagai medium reflektif yang membawa isu bullying ke layar lebar, menyajikan kisah-kisah kuat yang menggugah penonton untuk mencermatinya. Apakah ada korelasi dengan film-film Indonesia yang beredar saat ini dalam aspek kritis terhadap permasalah perundungan? Apakah Imperfect dapat dijadikan refleksi sinema yang mendidik? Mari kita telaah bersama.

Memahami Imperfect

Imperfect merupakan film ke-5 yang disutradarai oleh Ernest Prakasa. Ernest bukanlah sineas asing dalam industri perfilman di Indonesia yang telah banyak menghasilkan karya-karya film berkualitas. Bahkan kemunculan namanya semakin semerbak setelah film Cek Toko Sebelah (Ernest Prakasa, 2016) meledak di bioskop dan menyabet setidaknya 9 nominasi Festival Film Indonesia tahun 2017, dengan memenangkan 1 Piala Citra pada kategori Skenario Asli Terbaik. Kesuksesan yang dibawa dalam filmnya tidak lepas dari isu-isu sosial yang selalu menjadi formula tulisannya. Dengan latar belakang stand-up comedy-an, ternyata ada sisi lain dan keresahan yang dapat diimplementasikan dalam karya-karyanya. Film Cek Toko Sebelah misalnya, mengangkat isu keturunan etnis Tionghoa yang selalu dihadapkan dengan permasalahan karir, yang ujung-ujungnya harus menjaga toko warisan orang tuanya. Lalu isu apa yang ditawarkan dalam Imperfect?

Imperfect mem-framing kisah Rara (diperankan oleh Jessica Mila), yang lahir dari seorang model sukses di era 90-an bernama Debby (diperankan Karina Suwandi). Rara harus menghadapi hidup yang penuh tekanan akibat perundungan dan standar kecantikan yang kaku. Penampilannya yang berbeda dengan adiknya, Lulu (diperankan Yasmin Napper), sering kali menjadi sasaran kritik dan dibanding-bandingke (Jawa: dibanding-bandingkan). Rara memiliki tubuh yang lebih berisi dan kulit yang lebih gelap, diwariskan dari genetik sang ayah, Hendro (diperankan Kiki Narendra), sedangkan Lulu mewarisi tubuh langsing dan kulit putih dari ibunya.

Walaupun tidak memenuhi standar kecantikan yang umum di masyarakat, Rara memiliki kepribadian yang hangat dan penuh empati. Dia sering mengajar di sekolah untuk anak-anak jalanan, sebuah kegiatan yang membuat Dika (diperankan Reza Rahardian) jatuh cinta padanya atas karena ketulusan hati yang ada dalam dirinya. Rara merasa beruntung memiliki Dika, yang mencintainya apa adanya. Di sisi lain, kisah asmara adiknya, Lulu, dengan George (diperankan Boy William) lebih didorong oleh kepentingan pribadi, di mana George memanfaatkan Lulu untuk menaikkan jumlah pengikutnya di Instagram, bukan karena cinta sejati.

Memahami kisah dari Imperfect, film bertema eksploitasi dan isu body shaming, standar kecantikan, serta penerimaan diri bukanlah barang baru dari film-film yang telah beredar. Beberapa film serupa seperti I Feel Pretty (Abby Kohn & Marc Silverstein, 2018) yang mengikuti kisah seorang wanita yang belajar mencintai dirinya setelah mengalami perubahan persepsi. The Duff (Ari Sandel, 2015) yang berfokus pada seorang remaja yang menghadapi stigma sebagai “teman jelek nan gemuk”. Flashback lebih jauh lagi, Little Miss Sunshine (Valerie Faris & Jonathan Dayton, 2006) juga menyentuh tema ini melalui kompetisi kecantikan anak-anak. Kesamaan dari film-film ini, tidak lepas dalam menggarisbawahi pentingnya penerimaan diri dan melawan norma kecantikan yang sempit.

Konstruksi Body Shaming sebagai Bullying

Fenomena body shaming kerap kali dianggap sebagai permasalahan remeh temeh dalam diskusi tentang bullying, meskipun dampaknya pada individu dapat dianggap sangat merusak. Film Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan mengihwal isu ini dengan pendekatan yang mendalam dan emosional, menggambarkan bagaimana tekanan sosial terhadap standar kecantikan dapat mempengaruhi kehidupan seseorang secara signifikan. Rara merupakan karakter utama dalam film ini. Dia adalah seorang perempuan yang berjuang menghadapi standar kecantikan yang sempit di tengah masyarakat modern. Penampilan fisiknya yang dianggap “tidak ideal” membuatnya sering menjadi korban body shaming, baik dari lingkungan kerja, orang-orang terdekatnya, bahkan dari keluarganya sendiri.

Melalui perjalanan Rara, Imperfect mengajak penonton untuk merenungkan dampak jangka panjang dari body shaming. Sebuah studi oleh Puhl dan Heuer (2010) mengungkapkan bahwa body shaming dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi, rendahnya harga diri, dan bahkan gangguan makan (Puhl & Heuer, 2010). Dalam Imperfect, dampak ini terlihat jelas saat Rara mengalami krisis kepercayaan diri yang mempengaruhi hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk Dika, pacarnya. Tekanan pekerjaan menjadikan emosi dari Rara tidak stabil, sehingga terbesit dalam dirinya untuk merubah penampilan. Standar “cantik” menjadi keharusan mutlak, mengingat posisi Sheila (diperankan Cathy Sharon) yang sebelumnya mengundurkan diri dari Manajer perusahaan Malathi, mengakibatkan posisi jabatan tersebut kosong. Meskipun Rara lebih cerdas dan memiliki peluang mengisi jabatan tersebut, rasanya cukup berat karena harus bersaing dengan Marsha (diperankan Clara Bernadeth) yang secara look lebih cantik. “Cerdas dan senior” saja tidaklah cukup, penampilan pun diutamakan mengingat harus bertemu banyak klien.

Salah satu dialog dalam film antara Rara dan Dika saat selesai sesi photoshoot cukuplah menggelitik, “Cantik-cantik ya mereka. Emang bener, langsing, putih…”. Penulis memahami, tidak ada standar kecantikan yang mutlak dan berlaku di Indonesia. Bahkan standar cantik yang konon harus berkulit putih, hidung mancung, muka golden ratio, hanyalah doktrin media barat belaka. Sedangkan di Indonesia sendiri, rata-rata wanita itu berhidung pesek, bermata belo, berkulit sawo matang/ kuning langsat. Standar cantik yang paling relevan sebagai bangsa Asia adalah adanya efek dari gelombang Korea, atau yang dikenal sebagai Korean Wave atau “hallyu”. Tidak hanya merambah musik, film, makanan, dan fashion, tetapi juga produk kecantikan. Fenomena budaya Korea Selatan ini dimulai pada tahun 1990-an di Asia Timur dan kemudian menyebar ke Amerika, Eropa, hingga Timur Tengah. Di Indonesia, gelombang budaya Korea baru mulai muncul sekitar tahun 2002, ketika drama-drama Korea mulai ditayangkan di stasiun televisi swasta (Lancia et al., 2023).

Dalam beberapa scene, teknik pengambilan close-up pada kaki yang berjalan dengan high heels menekankan stereotipe bahwa kaki yang indah dan pemakaian high heels dianggap sebagai simbol kecantikan dan kelas. Sebaliknya, ketika Rara berjalan dengan flat shoes, hal ini menciptakan citra bahwa dia dianggap “tidak menarik” di mata pria. Selain itu, ada scene di dalam lift dimana Rara yang memiliki tubuh kurang ideal sangatlah diabaikan. Namun, ketika dia menjalani diet ekstrem dan mengubah penampilannya, perhatian semua orang tertuju padanya. Jadi, cantik menjadi sebuah privilege bagi siapa saja yang memilikinya. Gambaran tersebut mirip dengan film I Feel Pretty (2018) dimana mengajak kita untuk berpikir ulang tentang standar kecantikan yang sering kali membatasi. Film ini menantang gagasan bahwa cantik harus berarti putih, langsing, kurus, atau berambut lurus. Pesannya jelas: kecantikan tidak perlu mengikuti satu standar tertentu. Wanita tidak harus putih untuk dianggap cantik, tidak harus kurus atau berhidung mancung. Setiap wanita bisa merasa cantik selama mereka nyaman dengan diri mereka sendiri (Ginting & Rahmiaji, 2022).

Baca Juga  Fenomena The Raid

Poin penting lainnya yang menonjol sepanjang film adalah insecurity. Isu ini menjadi polemik sepanjang film Imperfect, bahkan Lulu yang sudah terlihat langsing dan berkulit putih masih saja mendapat komentar kurang menyenangkan hanya karena pipinya yang tembem dan berwajah bulat. Lebih parahnya lagi, problematika bullying yang dirasakan Lulu tidak hanya sebatas verbal, namun juga di media sosial. Hal ini juga dapat mempengaruhi mental, sehingga timbul rasa insecure yang dirasakannya. Begitu juga dengan anak-anak kost lainnya yang memiliki insecurity dengan fisik mereka: Prita (diperankan Aci Resti) yang terus menutupi tompel dengan rambut poninya, Maria (diperankan Zsazsa Utari) yang selalu ingin memiliki rambut yang lurus, Neti (diperankan Kiky Saputri) yang bermasalah dengan ukuran payudaranya, dan Endah (diperankan Neneng Wulandari) yang merasa tidak percaya diri karena giginya yang tidak rapi (Rahmawati et al., 2022). Akhirnya, kumpulan insecure anak-anak kost inilah yang menjadi konsep “kecantikan” oleh Rara untuk membuat Malathi kembali bangkit dari krisis dan keterpurukan. Imperfect merangkum dan menyajikan kritik terhadap norma-norma kecantikan yang ada saat ini, menunjukkan bagaimana ekspektasi sosial yang tidak realistis dapat merusak kesejahteraan emosional dan mental seseorang.

Namun, Imperfect tidak sepenuhnya tanpa kekurangan. Meskipun fokus pada isu body shaming dan insecurity sudah cukup kuat, beberapa karakter sampingan dalam film ini kurang mendapatkan pengembangan yang memadai, akibatnya beberapa bagian cerita terasa kurang terhubung dengan alur utama. Contohnya ketika anak-anak kost mencoba ikut nimbrung dalam scene obrolan Dika dan Rara, mereka seolah sebagai sidekick yang lepas. Sebagai sidekicks, mereka seharusnya lebih membantu mengembangkan tema body positivity dan memperkuat perjalanan Rara dalam mencari jati dirinya. Memang mereka (anak-anak kost) semuanya berperan secara dominan di-ending film sebagai perwakilan wanita-wanita medioker dan terpinggirkan, namun sayang hanya dianggap sebagai pelengkap bumbu komedinya saja. Selain itu, pacing film ini sedikit memiliki kendala, salah satunya adalah adegan transformasi diet yang dilakukan oleh Rara. Mungkinkah dalam satu bulan dia tidak datang ke kantor? Sedangkan dia menjalani transformasi diet ekstrim dan merubah penampilan dengan make-up. Apakah proses transformasi yang dilakukan Rara tidak disadari oleh orang-orang disekitarnya? Cukup menggelitik walau pada akhirnya Rara tiba-tiba masuk kantor dan semua rekan kerja terpana disertai standing applause atas keberhasilan program dietnya.

Estetika visual dalam Imperfect juga memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan film. Penggunaan wardrobe dan make-up sebagai alat naratif menggambarkan perubahan fisik Rara, menambah kesan glamor dan menarik. Perubahan yang drastis tersebut tentu mempengaruhi cara pandang orang lain terhadapnya. Ini menyoroti obsesi masyarakat modern terhadap penampilan fisik, menjadikan body shaming sebagai isu yang relevan untuk didiskusikan. Tone visual yang cerah dan penuh warna menciptakan kontras yang tajam dengan pergulatan batin Rara, menambah kedalaman emosional pada narasi yang disajikan. Dengan demikian, Imperfect berhasil menyampaikan pesan penting tentang self-acceptance dan keberanian untuk menentang norma-norma sosial yang merugikan.

Jika dibandingkan dengan film Indonesia lainnya seperti Dear Nathan (Indra Gunawan, 2017) dan A: Aku, Benci & Cinta (Rizki Balki, 2017), Imperfect menawarkan perspektif yang unik dalam memerangi bullying melalui fokus pada body shaming. Sementara Dear Nathan mengangkat trauma masa lalu yang disebabkan oleh bullying fisik dan emosional, sedangkan A: Aku, Benci & Cinta mengeksplorasi diskriminasi sosial dalam konteks bullying. Imperfect lebih berfokus pada standar kecantikan dan bagaimana tekanan untuk memenuhi standar tersebut dapat menjadi bentuk bullying yang menghancurkan.

Kritik dan Refleksi: Sosial Masyarakat Kini dan Masa Depan

Imperfect bukan sekadar film; film ini berfungsi sebagai cermin sosial yang tajam, menyoroti isu bullying dengan cara yang mendalam. Melalui kisah yang diangkat, secara tidak langsung merepresentasikan fenomena bullying, memberikan kesempatan bagi penonton untuk merenungkan pengalaman yang mungkin pernah mereka lihat atau bahkan alami sendiri. Kesadaran masyarakat tentang dampak buruk bullying sangatlah penting, karena seperti yang diungkapkan dalam film, bullying dapat meninggalkan bekas luka yang mendalam dan bertahan lama bagi korbannya (Rigby, 2003). Oleh karena itu, Imperfect dapat dianggap sebagai media edukatif yang mengajak penontonnya untuk lebih peduli dan mengubah sikap terhadap bullying, serta sebagai bahan renungan bersama kini dan masa depan dalam hidup sosial bermasyarakat.

Sinema Indonesia telah menunjukkan kemampuannya dalam menangkap kompleksitas dan dampak dari perilaku bullying, sekaligus memberikan wawasan baru tentang cara menghadapinya. Di tengah perhatian global terhadap masalah ini, kontribusi film-film Indonesia dalam mengangkat isu bullying patut diapresiasi dan terus didorong. Imperfect, dengan segala pesan dan kekurangannya, menawarkan lebih dari sekadar hiburan; film ini menantang penonton untuk berpikir kritis tentang norma-norma sosial yang selama ini dianggap biasa. Pesan yang dibawa film ini sangat relevan di era modern, di mana tekanan untuk tampil sempurna semakin diperkuat oleh media sosial. Imperfect menegaskan pentingnya mencintai diri sendiri dan menolak standar kecantikan yang tidak realistis, sebuah pelajaran penting yang seharusnya dihayati oleh masyarakat saat ini.

Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan (2019)
Tayang di Netflix dan Vidio.com

 

REFERENSI

Antara News. (2024, Agustus 28). Ministry, police to jointly investigate PPDS doctor suicide case. Antara News. Retrieved from https://en.antaranews.com/news/296258/ministry-police-to-jointly-investigate-ppds-doctor-suicide-case

Ginting, S., & Rahmiaji, L. R. (2022). Representasi Standardisasi Kecantikan Wanita dalam Film “I Feel Pretty (2018)”. Interaksi Online, 10(2), 91–101. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/33447

Lancia, F., Liliyana, & Azis, A. (2023). K-Beauty dan Standar Kecantikan di Indonesia (Analisis Wacana Sara Mills pada Kanal YouTube Priscilla Lee). Jurnal Multidisiplin West Science, 2(1), 56–68. https://doi.org/10.58812/jmws.v2i1.175

Olweus, D. (1993). Bullying at School: What We Know and What We Can Do. Blackwell Publishing.

Puhl, R. M., & Heuer, C. A. (2010). Obesity Stigma: Important Considerations for Public Health. American Journal of Public Health, 100(6), 1019-1028.

Rahmawati, Y. S., Rahmasari, G., & Azhar, D. A. (2022). Analisis Insecurity dalam Standar Kecantikan Film Imperfect dengan Semiotika Roland Barthes. Journal of Digital Communication and Design (JDCODE), 1(2), 94–102. https://ejurnal.ars.ac.id/index.php/jdcode/article/view/812

Rigby, K. (2003). Consequences of Bullying in Schools. The Canadian Journal of Psychiatry, 48(9), 583-590.

Voi.id. (2024, Agustus 28). Dekan FK UNDIP Ajak Masyarakat Berpikir Bijak Mengurai Kasus dr. Aulia Risma Lestari yang Kompleks. Voi.id. Retrieved from https://voi.id/berita/412198/dekan-fk-undip-ajak-masyarakat-berpikir-bijak-mengurai-kasus-dr-aulia-risma-lestari-yang-kompleks

Artikel SebelumnyaBeetlejuice Beetlejuice
Artikel BerikutnyaRivière – 100% Manusia
Purwoko Ajie or better known as Puralexdanu Patjingsung was born in Ciamis, West Java, on October 13, 1995. He studied at the Television and Film Study Program from 2015 to 2019 at the Indonesian Institute of the Arts (ISI) Surakarta. He has continued his Postgraduate studies at the Cultural Studies Program, Faculty of Cultural Science, Sebelas Maret University, Surakarta, from 2022 until 2024. During college, he was more active in the world of writing, both independent books, film scripts, and cultural studies journals, especially research in films (Google Scholar link: https://scholar.google.com/citations?user=I6nkRJIAAAAJ&hl=id&oi=ao). The first books he wrote were novels based on his personal stories, such as “Cinta Piramida” (2015) and “From Something To Nothing” (2018), published independently. He became one of the authors of a book about films entitled “30 Film Indonesia Terlaris 2002-2018”, published collectively by Montase Press. Several scientific journals have also been written and published in national and international journals. He is also occasionally active in the production of short fiction and documentaries. He has loved the world of film since childhood; his first film was made in junior high school in 2009, entitled “Salah Pelet”. In 2016, with his university colleagues, he made a short film entitled “Dakoen Doerang (Past & Now)”. This film is the first time it has been brought to an international film festival in the World Cinema, International Children Film Festival 2018 in India. Then in early 2018, he also produced a documentary entitled “Teguh Between The Collapse of Gemstone”, and in the same year, it was also appreciated at various international festivals. Now he continues to focus on learning to write script, make short films, and focus on cultural studies that discuss films.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.