Klik Film, salah satu medium OTT memproduksi lagi film kelasnya sendiri yakni Enam Batang. Melalui arahan Eman Pradipta dengan Anggoro Saronto dan Ervina Isleyen sebagai penulisnya, Enam Batang menambah panjang daftar film-film dalam negeri produksi Klik Film. Film tentang drama pernikahan ini diperankan antara lain oleh Omar Daniel, Ersya Aurelia, dan Angela Gilsha. Melihat nama sang produser, Ervina, yang ternyata juga ikut menulis, seperti apa jadinya cerita Enam Batang ini?
Arya (Omar) dan Niken (Ersya) merupakan pasangan suami-istri biasa di tengah hiruk-pikuk sebuah kota besar. Kehidupan pernikahan mereka berjalan harmonis dan saling perhatian. Setidaknya sampai tiba momen pertemuan kecil dengan teman-teman kuliah Arya. Sebuah reuni sederhana yang mempertemukan dia dan Niken dengan Maia (Angela), mantan Arya. Pengungkitan-pengungkitan masa lalu pun dimulai, dibarengi dengan menyinggung pula kebiasaan Arya sebagai perokok.
Satu hal yang paling kentara dari Enam Batang ialah naratifnya biasa-biasa saja. Baik isu atau idenya, konsep relasi komunikasi suami-istri dengan kemunculan mantan, maupun konflik-konfliknya. Kecuali ada satu pembeda (itupun kecil), Enam Batang hanyalah film tentang drama pernikahan belaka. Pada akhirnya sineas film ini berupaya memaksimalkan kreasinya lewat aspek sinematik. Baik cara-cara pengambilan gambar, penggunaan properti-properti khusus yang beberapa kali bermunculan sebagai clue, bentuk-bentuk editing, maupun pemakaian musik. Kendati ini pun tak begitu banyak membantu, karena teknik-teknik yang digunakan juga telah sangat umum.
Enam Batang tampaknya tak jauh berbeda dari kebanyakan film-film rilisan Klik Film selama ini. Sekadar drama pop culture kelas rumahan. Kalaupun ada sisi menarik yang ditawarkan, kerap kali tak seberapa menggairahkan. Bahkan ada pula yang terlalu buruk. Seolah asal ada film rilis demi menjaga dapur produksi film, namun sebisa mungkin dimasuki aspek-aspek filmis yang cukup terlihat. Sebut saja seperti Hompimpa, Balada Sepasang Kekasih Gila, Pesan di Balik Awan, dan trilogi I, Will, Survive. Hendak menghadirkan keunikan, tetapi gagal menciptakan gebrakan. Terus-menerus demikian, dan kini terjadi lagi dalam Enam Batang. Sejumlah pembahasan dalam film ini pun dipaksakan muncul demi kebutuhan keberlangsungan jalan cerita.
Barangkali yang dapat diapresiasi lebih dari Enam Batang ialah concern sineasnya dalam mengampanyekan kebiasaan merokok. Meski di sepanjang film penonton pasti mencari-cari korelasi judul film ini dengan kemunculan rokok dalam cerita. Satu sisi ini memang jadi sebentuk cara dalam menghadirkan rasa penasaran bagi penonton. Namun nahas bagi sang penulis, belum sempat ceritanya benar-benar berakhir, maksud “enam batang” tersebut sudah bisa terbaca dengan sangat jelas. Ditambah lagi eskalasi dramatik dalam cerita yang dia buat tak terasa kuat, antara puncak tertinggi dengan lembah terendahnya. Hampir banyak bagian-bagian yang landai, dengan masalah-masalah yang tak terlalu perlu untuk ikut dikhawatirkan oleh penonton.
Kerap kali film-film dengan konten dan konsep yang berkelas rata-rata (tidak sangat bagus, tidak pula terlalu buruk), mengambil langkah-langkah praktis lewat akting. Karena tampaknya sudah tidak memungkinkan lagi mematangkan segi penceritaan dengan diskusi yang lebih panjang. Tidak pula memasukkan olahan sinematik (selain akting) yang cukup signifikan untuk menguatkan cerita. Walhasil, satu-satunya solusi terakhir yang masih tersedia hanya melalui olah peran dari para pemainnya. Marriage misalnya. Enam Batang sejatinya juga melakukan itu dengan ketiga tokoh sentralnya. Namun tokoh-tokoh lain rupanya malah terabaikan. Entah bagaimana penulis Enam Batang ingin memosisikan tokoh-tokoh pembantunya, terutama para teman dekat tokoh utama perempuannya, Niken (Ersya). Kemunculan mereka sekadar jadi pengantar cerita awal atau perkenalan belaka, tanpa ada keterlibatan lebih lanjut dalam setiap masalah Niken. Ke mana perginya para teman dekatnya itu?
Enam Batang pada akhirnya sebatas kampanye pengurangan jumlah batang bagi siapapun yang terbiasa merokok. Kemasan ceritanya terlalu umum, sinematiknya pun formalitas semata. Memang sejalan dengan kebutuhan cerita, namun bentuk-bentuknya (gambar, editing, properti, musik) telah sering dijumpai di film-film lain. Olah peran para pemainnya memang boleh diakui sudah bisa menarik emosi penonton. Namun sang penulis jutru melupakan tokoh-tokohnya yang lain. Apakah produser Klik Film tidak lelah, rajin memproduksi film-film namun dengan kelas rata-rata semacam ini?