Sutradara horor thriller yang jarang memberikan karya-karya terbaik dalam genre ini, Arie Azis, muncul kembali dengan genre serupa berjudul Hompimpa. Film orisinal KlikFilm Productions ini diperankan oleh nama-nama baru, seperti Zoe Abbas Jackson, Yuriska Patricia, Sonia Alexa, Sebryan Yosvien, Kenny Austin, dan Bianca Hello. Rekam jejak sang sineas belum pernah menunjukkan peningkatan dalam karya-karya arahannya, lantas bagaimana dengan yang satu ini?
Angel (Zoe Jackson), Ririn (Yuriska Patricia), Lily (Sonia Alexa), dan Niko (Sebryan Yosvien) adalah teman satu geng sejak SD. Keseharian bersekolah mereka baik-baik saja, sampai muncul pesan broadcast yang menjebak keempatnya dalam ‘permainan’. Pesan tersebut mengatasnamakan dirinya sebagai sosok teman SD mereka berempat dulu. Sosok yang seharusnya telah lama tiada, karena perbuatan Angel pada masa lalu. Bersama sebuah rahasia buruk dari masa lalu, mereka dipaksa menyelesaikan permainan. Di sisi lain, kehadiran Asher (Kenny Austin) dan Moira (Bianca Hello) secara tak langsung memengaruhi mereka berempat.
Satu-satunya elemen yang berada di level rata-rata baik dalam Hompimpa hanyalah unsur misterinya. Namun, ini pun hanya bertahan tak lebih dari separuh film. Selain itu semuanya biasa saja. Thriller-nya sekadar pertunjukan kekerasan dan pembunuhan belaka tanpa motivasi yang kuat. Seluruh adegan pembunuhannya juga dilakukan dengan situasi di sekitar para tokoh yang terlampau dipaksakan. Bahkan momen yang serba tiba-tiba juga berulangkali terjadi. Tiba-tiba sebuah peristiwa terjadi, kemudian selesai begitu saja, lalu tiba-tiba muncul kejadian berikutnya, dan berakhir dengan ala kadarnya. Tidak ada bangunan cerita yang mendalam. Tidak ada latar belakang yang cukup untuk bisa menarik empati dari penonton. Bahkan I yang thriller-nya tak seberapa pun masih lebih baik ketimbang Hompimpa.
Hompimpa, sebuah nama yang erat dengan permainan ternyata menjadikan film ini juga sebatas main-main belaka. Candaan! Jangankan untuk membicarakan soal nilai estetik dan kekuatan dari aspek sinematik, naratifnya saja acak-acakan. Tidak tampak ada keseriusan dalam mengolah alur ceritanya. Terlalu banyak kekonyolan dengan beragam hal yang tidak masuk akal. Termasuk untuk hubungan sebab-akibatnya. Dan yang paling remeh adalah cara sineas Hompimpa menghadirkan adegan-adegan thriller. Seluruh ketegangan dalam Hompimpa bertumpu pada musik.
Memang, boleh dibilang olah peran beberapa pemainnya sudah cukup. Tetapi hanya sebatas “cukup”-lah kekuatan akting mereka. Meski ada kemungkinan untuk bisa ditingkatkan lagi, kalau saja naskahnya bisa lebih baik dengan unsur-unsur di dalamnya. Lagipula garis besar cerita Hompimpa ini sebenarnya sangat simpel. Hanya saja pengembangannya dilakukan secara serampangan. Walhasil, bangunan ceritanya pun berjalan sempoyongan dari awal hingga film usai. Diupayakan diangkat sebisa mungkin oleh penataan kamera, tetapi terasa sekali terseok-seok. Setting yang digunakan juga tak berbeda dari film-film horor thriller dalam negeri selama ini, bangunan tua atau ruangan tak terpakai. Bahkan setting hutan yang dipakai pun muncul begitu saja menempatkan para tokoh di dalamnya. Simsalabim!
Hompimpa hanyalah tayangan “permainan” aksi pembunuhan bersensasi level ‘anak-anak’, begitupun unsur misterinya. Hompimpa juga merupakan film horor thriller yang untuk ke sekian kalinya digarap dengan naskah yang asal-asalan. Bukan hanya itu, unsur-unsur dari aspek sinematiknya pun tak memiliki kekuatan yang memadai untuk mengangkat visualnya. Singkat kata, Hompimpa 11-12 dengan The Secret 2: Mystery of Villa 666, kecuali dalam akting dan misterinya. Itu pun hanya memberi dampak yang kecil dan tipis (nyaris tak terasa), bila dibandingkan dengan keseluruhan film. Dan kelemahan paling besar sebagai buntut panjang dari kegagalan naskah Hompimpa ialah dari masalah alur dan adegan-adegannya.