Kembalinya Anak Iblis

0

Film horor ini disutradarai oleh sineas kondang kita, Rudi Soedjarwo. Rudi, seperti kita tahu telah  memproduksi  beberapa film horor, seperti 40 Hari Bangkitnya Pocong (2008), Hantu Rumah Ampera (2009), serta Algojo: Perang Santet (2016). Kembalinya Anak Iblis merupakan sekuel dari film berjudul 13: The Haunted. Kisah sekuelnya masih berlanjut dari film tersebut.

Dalam film pertama dikisahkan sekelompok anak muda vlogger mengunjungi sebuah rumah terbengkalai di sebuah pulau bernama Ayunan. Konon, penghuni rumah tewas dibantai oleh sang kepala keluarga yang ia pun mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. 13 bulan kemudian, mereka mengunjungi rumah tersebut dan berhadapan dengan arwah-arwah gentayangan di sana hingga dua rekan mereka hilang secara misterius.

Singkat cerita, film sekuel ini bercerita pasca kejadian tersebut. Film ini dibuka dengan sebuah screenshot laman media sosial yang menyatakan bahwa Hana dan Fira sampai saat ini belum ditemukan jasadnya. Polisi bahkan tak bisa menemukan jasad mereka. Rama (Al Ghazali), Celsi (Valeri Thomas), Farel (Atta Halilintar), Garin (Endy Afian), dan Quincy (Steffi Zamora) sangat terpukul dengan kejadian ini. Bahkan Celsi, pacar Rama, harus dirawat di rumah sakit jiwa karena tekanan mental akibat peristiwa tersebut. Klara (Mikka Tambayong) dan Joy (Ahmad Megantara) berusaha membantu menemukan jasad keduanya melalui sebuah ritual. Namun, mau tidak mau, mereka harus kembali ke rumah tersebut.

Sebagai pemantik ingatan, kisahnya dibuka dengan cuplikan adegan film perdananya, seakan kita menonton sebuah trailer karena terasa ringkas dan sekilas. Tampak sekali, sang sineas ingin menjaga alur cerita sebelumnya. Di awal, tempo filmnya terasa lambat dan lebih menonjolkan sisi drama “melo”  yang mengeksplor kesedihan para tokohnya. Dari sisi ini, adegannya memang mampu mengajak penonton larut dalam kesedihan mereka. Sementara teror pada momen ini terasa tanggung. Jika dieksplor lebih jauh, sepertinya akan menguatkan motivasi mereka untuk kembali ke rumah tersebut.

Baca Juga  Hanum & Rangga: Faith and the City

Melalui setting yang sama, film ini juga masih menyajikan aksi teror yang nyaris sama pula. Hanya saja, satu hal yang berbeda adalah langkah ritual yang mereka lakukan. Setidaknya, ada 13 ritual yang harus mereka lakukan untuk menutup portal gaib. Namun sayangnya, visualisasi sekuen ini lebih terkesan seperti tutorial karena tak dikemas apik dan terasa cepat. Padahal semua hal ini memiliki potensi menarik. Hal ini yang membuat kisah filmnya terasa datar dan kurang intensitas ketegangannya. Dari sisi arwah gaib, plotnya juga kurang menggambarkan, apa sebenarnya motif untuk melakukan pembunuhan secara berulang-ulang.

Selain di rumah tua ini, plotnya juga menyajikan segmen adegan di rumah sakit jiwa. Beberapa kali, keduanya disajikan secara bergantian (crosscutting). Adegan horor di rumah sakit sebetulnya berpotensi lebih baik daripada di rumah tua, namun beberapa kejanggalan melemahkan mood-nya, yakni suasana rumah sakit yang terasa sepi dan minim pegawai.

Film-film horor bertema vlogger memang kini banyak muncul, contohlah Tusuk Jaelangkung dan Alas Pati yang baru-baru ini muncul di bioskop kita, selain film asing yang tak terhitung. Secara tema menarik, namun tanpa diimbagi kisah yang menarik tentu hanya akan mempertontonkan aksi-aksi horor yang tanggung.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaKapal Goyang Kapten
Artikel BerikutnyaMidsommar
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.