Midsommar (2019)
148 min|Drama, Horror, Mystery|03 Jul 2019
7.1Rating: 7.1 / 10 from 413,705 usersMetascore: 72
A couple travels to Northern Europe to visit a rural hometown's fabled Swedish mid-summer festival. What begins as an idyllic retreat quickly devolves into an increasingly violent and bizarre competition at the hands of a pagan cult.

Setelah film garapan brilian melalui debutnya yakni horor unik, Hereditary, banyak pengamat tentu menanti apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh sineas bertalenta, Ari Aster. Sang sutradara rupanya mampu menjawab dengan cara yang sangat berkelas melalui film thriller-horor terbarunya, Midsommar. Melalui naskah brilian yang ditulis sendiri oleh Aster, film patungan AS-Swedia ini dibintangi nama-nama yang belum dikenal luas, seperti Florence Pugh, Jack Reynor, William Jackson Harper, terkecuali Will Poulter. Dengan bermodal ini, bagaimana sang sineas mampu melewati pencapaian film sebelumnya?

Alkisah Dani Ardor adalah perempuan muda yang penuh rasa khawatir dengan mental yang tak stabil. Situasi Ini diperburuk dengan orang tua dan adiknya yang mengakhiri nyawa mereka sendiri di apartemen mereka. Setelah berselang, sang pacar mengajak Dani untuk berlibur musim panas ke Swedia bersama rekan-rekannya. Di sana, mereka bertemu dengan satu kelompok cult yang tengah melakukan perayaan tahunan. Tak disangka, liburan musim panas yang dimaksudkan untuk bersantai justru berubah menjadi horor.

Sesuatu yang sederhana ditampilkan secara rumit. Sudah banyak sineas besar yang melakukan ini, namun Ari Aster mampu melakukannya dengan gaya yang amat berkelas melalui kedua filmnya. Aster selalu memancing penonton untuk berekspektasi dan ia melakukan eksekusi kisahnya di luar kelaziman. Dalam Hereditary, Aster melakukan ini dengan memberi kita rasa penasaran sepanjang filmnya terhadap situasi mental sang ibu (delusi: nyata atau ilusi?), sekalipun akhir kisahnya terasa sedikit antiklimaks. Midsommar melakukan trik yang sama, hanya saja Aster kini melakukannya dengan amat brilian.

Film bertema sejenis (gangguan mental/delusi) jelas sudah bukan hal langka. Beberapa film masterpiece malakukan ini dengan cara beragam dan sangat berkelas, sebut saja Fight Club, Black Swan, Shutter Island, serta karya sang maestro asal Swedia, Ingmar Bergman, seperti Persona dan Cries and Whispers. Melalui Midsommar, Aster membawa tema delusi ke level yang jauh berbeda.

Baca Juga  Elvis

Kunci kisah film ini ada pada babak pertama (first act). Semua jawaban ada di sini, jauh sebelum tragedi musim panas bermula. Berbeda halnya dengan Hereditary, Aster kini menguji observasi kita secara maksimal terhadap tokoh utama. Ekspektasi kita diobrak-abrik melalui plot absurd dan skema visualnya. Hereditary menggambarkan sosok sang ibu yang ia sendiri meragukan kewarasannya hingga di ujung batas. Dalam Midsommar, shot penutup sederhana yang hanya menggambarkan transisi ekspresi wajah Dani menjawab semuanya dengan gamblang. Aster meletakkan semua petunjuk dengan menggunakan bahasa visual yang cerdas, melalui setting, properti, editing, sudut kamera, komposisi, suara, dialog, pengadeganan, hingga akting pemainnya. Performa Florence Pugh sebagai Dani Ardor mampu mengimbagi naskah dan visual filmnya yang kuat dengan cara yang sangat mengesankan. Nominasi Piala Oscar untuk Pugh?

Masih bingung kisahnya setelah penjelasan ini? Percaya saja, menemukan petunjuk-petunjuk sang sineas dengan pengamatan sendiri, akan jauh lebih nikmat dan mengasyikan daripada mendengarnya dari saya.

Memang jelas bukan untuk tontonan awam, Midsommar mampu menyampaikan cerita dan pesannya melalui kombinasi brilian antara plot, mise_en_scene, serta sinematografi yang unik di bawah arahan dan talenta langka sang sineas. Mudah untuk dikatakan, Midsommar adalah salah satu film terbaik di era modern kini. Salah satu ciri film bagus adalah mampu membuat kita untuk berpikir. Batas antara kewarasan dan kegilaan demikian tipis dalam Midsommar. Film ini menjawab semua isu yang kita hadapi saat ini di dunia dengan cara elegan melalui pertanyaan besar, apakah kita sudah ikut gila bersama dunia? Bagi pecinta film sejati, Midsommar adalah satu contoh sempurna bagaimana sineas mempermainkan ekspektasi melalui pendekatan estetiknya. Ibaratnya, Midsommar adalah sebuah terapi kejutan bagi para pecinta film yang semakin menegaskan masih ada ruang untuk berkreasi secara inovatif dengan segala pendekatan estetik medium ini. Bergman sendiri rasanya bakal memberi applause dari liang kuburnya.

Silahkan klik Hereditary untuk membaca ulasan film pertama Ari Aster.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaKembalinya Anak Iblis
Artikel BerikutnyaWarkop DKI Reborn 3
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.