Ketika sekumpulan mahasiswa seni mulai jengah terhadap negaranya sendiri, maka dibentuklah sebuah “negara baru” dalam film Koboy Kampus. Film dengan posisi sutradara dan penulis yang diisi keduanya oleh Pidi Baiq dan Tubagus Deddy, diproduksi oleh Bianglala Entertainment, Enam Sembilan Production, bekerja sama dengan MNC Pictures. Film komedi musikal ini dibintangi oleh Jason Ranti, Ricky Harun, David Jhon, Miqdad Addausy, serta Bisma Karisma yang merupakan pula semibiografi dari sang penulis dan sutradaranya, Pidi Baiq.

Koboy Kampus bercerita asal muasal The Panas Dalam yang merupakan “negara” kesatuan berbentuk republik dengan semangat idealisme mahasiswa dalam kehidupan berkampus. Dengan tujuan awal sebagai “negara baru”, The Panas Dalam yang digagas oleh Pidi dan keempat temannya, Ninu, Erwin, Dikdik, dan Deni pun dijalankan sebagaimana layaknya sebuah negara. Bersama konflik-konflik khas mahasiswa, seperti percintaan, tuntutan kuliah, tekanan dari pihak kampus hingga persoalan politik, sosial, dan ekonomi pada era tersebut. Lantas sejauh apa negara bentukan Pidi, The Panas Dalam, dalam berperan dan memberi pengaruh bagi mahasiswa di lingkungan kampus ITB dari ruang kecil mereka di studio lukis?

Alur cerita dan tema yang diangkat Koboy Kampus sebetulnya menarik untuk diikuti. Dalam artian, dengan topik seputar era orde baru, namun dikemas dalam kelucuan dan polah tingkah dari warga The Panas Dalam. Tone warna, kondisi kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), latar lokasi, dan properti yang digunakan disesuaikan dengan tahun peristiwa dalam film yang berlatar era 1990-an.

Tidak seperti keterlibatan Pidi Baiq dalam film-film adaptasi novelnya (seri Dilan) yang memiliki konflik jelas dengan tensi dramatik yang layak untuk diikuti. Koboy Kampus sebatas menawarkan sisi komedi satir ringan yang dibalut secara unik dengan unsur musikal. Sisi Komedinya berupa sindiran terhadap kondisi politik, kebijakan negara, dan nasib rakyat Indonesia pada masanya yang kelak memicu lahirnya Negara Kesatuan Republik The Panas Dalam. Film ini mengemas persoalan seputar kenegaraan hingga kewajiban warga negara dengan penyampaian yang menyenangkan dan humoris, melalui dialog-dialog lawakan dari Pidi dan lagu-lagunya.

Baca Juga  Sunshine Becomes You

Beberapa sisi humornya memang cukup menggelitik dengan kondisi serta kehidupan sang tokoh di kampus, seperti sosok tokoh berkewarganegaraan Inggris, pelantikan presidan atas wewenang dari seorang Imam Besar, lagu kebangsaan, sistem peradilan terhadap pelanggaran konstitusional, bentuk relasi hubungan antar dua negara, penerapan batas wilayah negara, serta bentuk-bentuk kedaulatan negara.

Penempatan pemusik Jason Ranti untuk memerankan sosok Pidi pun terasa sangat pas. Dengan ciri khas karya-karya Jason selama ini, lagu-lagu yang dibawakan olehnya dalam Koboy Kampus menjadi lebih hidup dan berkarakter. Hanya bagi penonton yang jarang bahkan tidak pernah mengenal musik-musik indie, pasti awam dengan caranya bernyanyi, rasa, serta nuansa dalam lirik di lagu-lagunya.

Tidak ada hal lain di luar itu yang layak untuk mendapat apresiasi berlebih dan ulasan lebih jauh. Tidak ada nilai lebih dari sisi cerita. Pesan yang menggugah sisi kemanusiaan atau semangat hidup pun tidak. Konflik yang disajikan terasa tanggung dan tidak dieksplorasi jauh. Mengingat era sekarang yang sudah tidak mempermasalahkan sindiran macam apapun (dalam koridor komedi) seperti era lampau, Koboy Kampus pantas dinikmati sebagai jeda untuk menarik napas di tengah penatnya rutinitas sehari-hari. Koboy Kampus menawarkan solusi paling konkret bagi siapapun yang jengah terhadap negaranya sendiri “pada masa itu”, namun tidak bertindak secara otoriter, separatis, maupun subversif. Memang hanya sebatas ini Koboy Kampus pantas untuk mendapat tempat agar dinikmati oleh segmentasinya.

Miftachul Arifin – Mahasiswa Magang

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaDetective Conan: The Fist of Blue Sapphire
Artikel BerikutnyaBatman: Hush
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.