Sekuel kedua seri Kuntilanak dengan formula yang melibatkan anak-anak ini masih digarap oleh sutradara dan penulis dua film sebelumnya, Rizal Mantovani dan Alim Sudio. Namun Kuntilanak 3 bukan hanya menghadirkan horor semata, melainkan fantasi supernatural. Film yang masih diproduksi MVP Pictures ini diperankan oleh Nicole Rossi, Romaria Simbolon, Faras Fatik, Nafa Urbach, Aming Sugandhi, Sara Wijayanto, dan Ciara Nadine Brosnan. Apalagi eksplorasi horor yang kali ini dilakukan oleh sang sutradara?
Seusai terlibat dengan peristiwa-peristiwa horor yang dapat mengancam nyawa, Dinda (Nicole Rossi) dan saudara-saudarinya tak lepas dari kejadian ganjil. Kini kejadian tersebut bahkan lebih berisiko, karena datang dari orang terdekat, yakni Dinda sendiri. Setiap kali emosinya tak stabil, sesuatu mengendalikannya dari alam bawah sadar dan melukai saudara-saudarinya. Walhasil, ia mesti memasuki sebuah sekolah khusus yang mampu mengajari anak-anak spesial untuk mengendalikan kemampuan mereka. Sayangnya, sekolah tersebut menyimpan bahaya yang mengerikan. Bahaya yang melibatkan Dinda beserta kemampuannya.
Ide untuk kian mengeksplorasi sosok kuntilanak dalam sekuel kedua ini boleh dikatakan menarik. Bahkan Kuntilanak 3 mengembangkannya ke skala yang cukup besar dengan latar tempat dan keterlibatan banyak tokohnya. Namun yang kita bicarakan tidak bisa hanya berhenti di perkara ide semata bukan? Itulah persoalan kedua penulis dan sutradara Kuntilanak 3 dalam menggarap karya mereka ini. Sesudah mengerjakan dua film sebelumnya, Kuntilanak 1 dan 2, skala produksi yang membesar dengan melibatkan lebih banyak tokoh pasti memengaruhi logika cerita pula. Para pembuat film ini pun sudah sedari awal melibatkan anak-anak ke dalam cerita mereka dengan alasan “formula baru”. Meski mereka abai pada fakta bahwa anak-anak perlu treatment khusus untuk berolah peran dalam film semacam seri Kuntilanak ini.
Banyak celah dalam Kuntilanak 3, terutama dari naskahnya. Tidak akan sulit menjumpai adegan-adegan percuma di sepanjang film. Ada pula keberadaan beberapa tokoh dan tindakan-tindakan mereka yang sebetulnya tak berfungsi. Tanpa kehadiran dan keterlibatan mereka, cerita masih dapat berjalan dengan baik. Misalnya, kedatangan Miko dan Kresna di sekolah. Sekalipun peran kedua anak ini ditiadakan dari adegan-adegan di sekolah, konflik-konflik dalam cerita Kuntilanak 3 tetap bisa berlangsung. Sama halnya dengan anak-anak lain yang berada di dekat Dinda, baik Dennis, Mala, maupun Uci. Tampaknya “tugas” mereka sebagai tokoh dalam film sekadar “alat” yang dapat diletakkan di mana saja. Ketiga anak tersebut yang notabene memiliki kemampuan tertentu tak membantu sama sekali ketika terjadi situasi kritis.
Belum cukup perihal penempatan tokoh dan adegan mereka, Alim benar-benar tidak memperhatikan dengan baik karakterisasi untuk tokoh-tokoh yang ia buat. Karakterisasi yang dibuat sang penulis untuk para tokohnya pun menjadikan mereka layaknya boneka yang gampang digiring ke segala arah. Terkadang mereka akan memaki tokoh lain tanpa motivasi yang jelas, kadang pula kebingungan dengan tindakannya sendiri. Sekali waktu terlihat punya rasa terhadap tokoh lain, namun di lain waktu pertemuan di antara mereka seakan hanyalah pertemuan biasa. Sang penulis mungkin lupa, bahwa karakterisasi yang setengah-setengah berdampak buruk terhadap pembentukan sosok dari tokoh itu sendiri. Rasanya Kuntilanak 3 menjadi salah satu film horor dengan skenario yang paling bermasalah.
Kendati demikian, Kuntilanak 3 menawarkan tiga aspek besar sebagai “pendongkrak” atensi agar orang-orang tertarik menontonnya. Setting, pencahayaan, dan musik. Kuntilanak 3 tampak begitu berambisi untuk melebarkan sayapnya, bahwa keberadaan sesosok kuntilanak bahkan bisa mengguncang dunia. Sang hantu lokal paling populer yang seakan bisa lebih dari sekadar menakut-nakuti pasangan suami-istri yang baru saja punya bayi. Film ini lantas menggunakan latar tempat di sebuah bangunan kuno besar sebagai sekolah. Dengan keberadaan anak-anak sekolahan, pemandangan untuk bangunan tersebut telah menggeser kesan horor filmnya. Megah, memang. Namun bangunan sebesar itu berada di tengah hutan?
Pencahayaan adalah hal kedua yang digarap dengan baik dalam Kuntilanak 3. Tiap-tiap perannya dimaksimalkan untuk mendukung kebutuhan dalam banyak adegan. Tak sekadar gelap-terang belaka. Cara-cara Kuntilanak 3 memanfaatkan cahaya dapat menguatkan emosi yang perlu ditunjukkan pada saat itu. Bagaimana musik-musik dalam film ini tampil juga tak dapat diabaikan. Membius penonton dengan karakteristik suara khas sesuai setting yang tengah muncul di layar. Walau musik ini pula salah satu yang turut mencampur unsur horor Kuntilanak 3 dengan fantasi. Barangkali hal-hal inilah yang dijadikan nilai jual oleh sineas Kuntilanak 3. Meski terdapat logika yang sukar dinalar pula khusus untuk keberadaan bangunan sekolah yang mendominasi setting film ini.
Walau dieksplorasi ke ranah genre yang lebih jauh, Kuntilanak 3 melupakan dasar terpenting dalam kekuatan sebuah film, yakni kualitas skenario. Baik Alim maupuan Rizal tampaknya terlalu tenggelam dalam ambisi mereka untuk menciptakan film horor yang berbeda. Tidak ingin selalu terikat dengan formula-formula lama. Sayangnya, mereka gagal berhati-hati dalam membuat dunia cerita film mereka ini. Sang sutradara pula yang mengusik Asih 2 menjadi film yang melepaskan diri dari benang merah semesta Danur. Masih banyak lubang dalam pembuatan cerita di Kuntilanak 3, bahkan bila dibandingkan dengan dua film sebelumnya.