Film drama komedi ini merupakan besutan sutradara kondang Monty Tiwa. Ia sebelumnya telah menghasilkan puluhan karya dengan berbagai genre, termasuk drama komedi, seperti Get Merried 3 (2011), Shy Shy Cat (2016), Mau Jadi Apa? (2017), serta Reuni Z (2018). Dalam film ini, aktor kawakan Lukman Sardi bertindak menjadi salah satu produser. Ia juga menggandeng penulis naskah senior, Jujur Prananto untuk menulis script-nya. Selain itu, aktris dan aktor senior Widyawati dan Slamet Raharjo saling beradu akting di film ini, serta diramaikan pula para pemain muda, seperti Mikka Tambayong,  Morgan Oey, Umay Shahab, dan Sonia Alyssa.

Film ini berkisah tentang perempuan lanjut usia bernama Lastri (Widyawati) yang berkuliah lagi di sebuah perguruan tinggi di Jogja, bernama Universitas Cyber Indonesia. Lastri harus beradaptasi dengan kondisi kampus yang jauh berbeda dengan pada masanya dulu. Untungnya, Lastri berteman dengan rekan-rekan muda yang senantiasa membantunya, yakni Sarah (Mikka Tabayong), Reva (Sonia Alyssa), Danny (Morgan Oey), serta Erfan (Umay Shahab). Tak disangka pula, Lastri harus berurusan dengan berbagai masalah yang menimpanya bersama teman-temannya. Mereka dianggap membuat onar dan Lastri pun dianggap biang keroknya. Lastri pun mendapat ultimatum dari sang dekan, jika tak memiliki nilai baik, ia terancam DO.

Cerita tentang dunia kampus dan dinamikanya memang bukan barang baru dalam film. Film ini mencoba mencari celah cerita dengan mengangkat tema berbeda, yakni seorang oma yang ingin berkuliah. Seperti film-film sang sineas terdahulu, drama keluarga menjadi background cerita dan motivasi di balik konflik kisahnya. Lastri memiliki kemauan kuat untuk berkuliah karena termotivasi cucunya. Plot filmnya memang lebih fokus pada kehidupan kampus dan dinamikanya. Sang Dekan memberi deadline waktu, semangat dan usaha Lastri yang menjadikan kisahnya unik dan enak untuk dinikmati. Para sahabatnya yang menjadi pendukung mampu pula menjadi bumbu penggerak cerita. Pesan tentang semangat berkuliahpun tersampaikan melalui tokoh Lastri.

Baca Juga  Menebus Impian, Mencari Makna Kebahagian

Tone filmnya sendiri kental dengan konflik keluarga didukung musik tema yang secara konsisten mampu membangun beberapa momennya. Satu adegan ketika Lastri memandang ke arah gedung kampus sambil menghela nafas. Momen ini menggambarkan dirinya sebagai seorang ibu yang kesepian, namun selalu memandang hidup penuh harapan. Walau dominan adegan drama, namun sisipan komedinya yang berlebihan terasa sedikit menggangggu. Gurauan dan dialog yang kurang pas muncul dalam situasi yang seharusnya disikapi serius sehingga momen menyentuh, menjadi tak mengena. Beberapa adegan kadang juga lepas dari nalar, misalkan Lastri yang akan melompat dari jendela saat perkuliahan berlangsung.

Tak diragukan lagi, akting dari aktris senior Widyawati yang beradu akting dengan sekelompok anak muda yang enerjik. Lastri yang lincah, ceria, suka banyol seolah keluar dari karakter asli sang aktris. Inilah yang membuat filmnya berbeda. Sayangnya, chemistry antar mereka kurang begitu terasa. Widyawati pun juga kembali bereuni dengan Slamet Raharjo setelah sebelumnya terlibat bersama dalam Bahwa Cinta itu Ada (2010), Sweet 20 (2017), dan Critical Eleven (2017). Salah satu unsur teknis yang paling membangun mood filmnya adalah musiknya, namun pada beberapa adegan, lagunya terasa kurang pas, seperti pada saat adegan klimaks yang terasa melemahkan adegan pentingnya.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaWedding Agreement
Artikel BerikutnyaDora and The Lost City of Gold
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.