Film berlatar Sumba muncul lagi, dan kini melalui Notebook. Setelah sebelumnya Sukhdev Singh mengandalkan Bali lewat Wedding Proposal yang diproduseri dan ditulisnya bersama Tisa T.S.. Notebook diarahkan oleh Karsono Hadi, sineas yang telah lama tak kelihatan di keramaian film-film baru era 2000-an. Film drama roman produksi Screenmedia Films ini telah tayang sejak 27 Agustus lalu di Disney+ Hotstar. Para pemerannya antara lain Dimas Anggara, Amanda Rawles, Dominique Sanda, Tanta Ginting, Kiki Narendra, dan Ira Wibowo.
Rintik (Amanda Rawles) yang mengambil jarak dari rencana perjodohannya, memilih membaktikan diri mengajar anak-anak SD di Sumba sebagai guru. Banyak penolakan terjadi hanya karena dia berbeda keyakinan dengan masyarakat lokal. Terutama dari Martha (Dominique Sanda), salah satu guru di sana. Terlebih saat dia kian akrab dengan Arsa (Dimas Anggara), seorang pemuda setempat. Kristin (Ira Wibowo) lantas mewanti-wanti Arsa sebagai ibunya tentang kedekatannya dengan guru baru tersebut. Semuanya diperparah oleh masalah Rintik yang belum selesai dengan rumahnya.
Sejak memasuki awal tahun 2000-an, tercatat telah kali keenam film Indonesia menggunakan Sumba sebagai setting-nya. Mulai dari Atambua 39 Derajat Celcius (2012) sampai dengan Humba Dreams (2018), lalu dilanjutkan Notebook. Kesemuanya pun menawarkan inti cerita yang berbeda-beda. Termasuk Notebook dengan kisah romannya tersendiri. Sebuah cerita yang meromantisasi perjuangan menegakkan pendidikan di daerah pedesaan Sumba, berbalut lokalitas dari masyarakat setempat. Kisahnya memang mengandung romantisme antara ibu guru tamu dengan pria warga lokal. Namun Notebook sebetulnya menyoroti problematika pendidikan yang masih ada hingga hari ini. Ihwal pemerataan, putus sekolah karena masalah ekonomi, dan daya juang seorang guru yang tulus mengajar.
Bersama dengan semua itu, ada keramahtamahan khas pedesaan yang coba ditunjukkan pula dalam Notebook. Tetapi sulit kiranya merasakan kekentalannya karena juga ada persoalan perbedaan keyakinan yang dimasukkan ke cerita. Topik sensitif yang oleh Notebook dihadirkan sebagai sekat yang mengikis toleransi dan kepedulian. Ketika sejumlah penduduk setempat memandang sinis seorang pendatang yang berbeda agama, menjadi guru bagi anak-anak mereka.
Sumba pun barangkali memang dapat dijadikan tambahan pilihan agar sineas tak melulu bergantung pada Bali untuk menceritakan drama roman. Tidak pula terlalu Jawasentris atau bahkan Jakartasentris. Asal dapat mengeksplorasi potensi lokalitasnya dengan baik. Toh masih tersedia beragam aspek yang bisa digali. Meskipun ada satu di antaranya yang telah kerap muncul berulang-ulang setiap kali setting-nya berada di Sumba, yakni shot lanskap datarannya. Seolah sinematografinya masih belum mau memberanikan diri dengan shot–shot yang lebih variatif. Itu pula yang muncul dalam Notebook, sementara film-film berlatar Sumba sebelum ini telah banyak menampilkan pemandangan serupa. Mudah saja menjumpai visual yang sama dalam Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak misalnya, atau dalam Susah Sinyal.
Beralih ke para pemerannya, Dimas dan Amanda sekali lagi dipertemukan kembali dalam Notebook. Keduanya telah dua kali dipasangkan dalam film-film roman semenjak pertemuan pertama mereka dalam Promise (2017). Ini pula yang menyebabkan chemistry keduanya sudah bisa dirasakan cukup baik, karena tinggal memanggil pengalaman dari dua film sebelumnya. Dimas sebagai warga lokal yang canggung, dan Amanda yang berupaya mengadaptasikan diri dengan lingkungan tempatnya tinggal.
Walau mulanya opening Notebook seolah menandakan ceritanya akan berujung sad ending, tetapi pada akhirnya tetap saja format umumlah yang dipakai. Format yang bertopang pada selera awam para penggemar kisah-kisah roman. Problematika drama untuk romannya pun sudah jamak dijumpai. Misalnya A Perfect Fit, Wedding Proposal, maupun Layla Majnun yang memasukkan unsur perjodohan sebagai batu sandungan hasrat asmara untuk tokohnya. Rasanya konflik-konflik lain dalam Notebook lebih menarik ketimbang perkara jodoh itu. Terutama penekanan yang cukup kuat untuk masalah pendidikannya.
Notebook secara garis besar masih melanggengkan format umum film-film drama roman. Kendati memang upayanya dalam membawa kisah roman tersebut tak mengandalkan setting–setting pasaran. Bisa dibilang elemen bertopik seputar pendidikan, asmara, dan perbedaan keyakinan berada pada level yang sama. Sayang sekali Notebook malah ditutup dengan adegan yang tidak melibatkan keberadaan anak-anak setempat untuk memberi nuansa kehangatan.