Langkah baru dilakukan oleh seorang sineas film-film komedi, Ernest Prakasa, dengan menulis, mengarahkan, serta memproduseri Teka Teki Tika. Dengan masih mengusung drama keluarga, film garapannya kali ini juga kental dengan unsur-unsur kriminal dan misteri. Alih-alih didominasi oleh komedi seperti yang sudah-sudah. StarVision Plus memproduksinya dengan para pemeran yang terdiri dari Sheila Dara Aisha, Ferry Salim, Jenny Chang, Dion Wiyoko, Eriska Rein, Morgan Oey, dan Tansri Kemala. Khalayak menganggap Teka Teki Tika bergenre thriller, bahkan mencocokkannya dengan film-film thriller terkenal. Benarkah sedemikian cocoknya?
Kisahnya dimulai pada malam perayaan ulang tahun pernikahan Budiman (Ferry Salim) dan Sherly (Jenny Chang), bersama putra pertama mereka, Arnold (Dion Wiyoko), istrinya, Laura (Eriska Rein), putra kedua mereka, Andre (Morgan Oey), dan pacarnya, Jane (Tansri Kemala). Malam yang berlangsung gembira dengan sejumlah kabar bahagia lantas terusik oleh kedatangan seorang perempuan, Tika (Sheila Dara). Perempuan asing yang tiba-tiba hadir di tengah keluarga ini dan mengenalkan dirinya sebagai putri Pak Budiman. Beragam pertanyaan kemudian bergulir di antara satu sama lain dalam keluarga ini seiring Bu Sherly yang membolehkan Tika memasuki rumah. Sebab rupanya, fakta-fakta lain yang kemudian terungkap tak sekadar soal Tika saja, melainkan jauh lebih ‘berbahaya’ dari itu.
Film ini rupanya menjadi jalan keluar bagi seorang Ernest Prakasa yang mentok dengan garapan-garapan komedi. Dia bahkan memasukkan unsur-unsur satire terhadap kondisi terkini terkait korupsi, selain tetap menghadirkan tema keluarga. Bagian pokok yang biasa dibawakan dalam setiap film arahannya. Barulah unsur-usnur lain mengikuti di belakangnya.
Bila dicermati dengan seksama, Teka Teki Tika bertabur angle shot yang berpusat di tengah. Jelas sekali bahwa sineas memiliki referensi yang memadai dalam merancang setiap shot. Kecuali untuk gambar-gambar yang tidak memungkinkan, nyaris seluruh bagian dalam Teka Teki Tika berisi shot-shot simetris atau sekadar menempatkan tokoh-tokohnya selalu di tengah.
Hal lain yang tampak menonjol pula dari Teka Teki Tika ialah warna-warnanya. Warna-warna hangat dan dingin saling bergantian mengiringi emosi dari para tokoh anggota keluarga Budiman. Bahkan bila diperhatikan lebih jeli, terdapat beragam cara sang sineas hendak mengiringi sebagian besar konflik dengan shot, angle, property, maupun tata letak tertentu. Namun, mengikuti misteri dan membayangkan gambaran denah rumahnya rasanya lebih menarik.
Satu latar belakang ikonik beberapa kali pula diambil untuk menampilkan konflik internal keluarga dari sang ayah, Budiman. Meski khusus untuk yang satu ini kemudian kerap “disalahpahami” dengan mengaitkannya ke salah satu film thriller terkenal dari luar negeri. Rumah Teka Teki Tika pun demikian. Bangunan yang kental dengan ciri khas khusus genre-genre thriller maupun horor, dengan ketegangan atau rasa penasaran dari unsur misterinya. Setting berupa bangunan rumah ini pula yang lantas menjadi aspek kunci dalam Teka Teki Tika, selain pengelolaan misterinya. Sineas mesti benar-benar mengeksplorasi rumah besar yang digunakan untuk merespons kebutuhan naskah dengan setting terbatasnya. Meski untuk beberapa adegan tetap mengambil lokasi di luar area rumah.
Perkara setting terbatas dalam sebuah rumah sendiri bukan berarti tanpa bayang-bayang kegagalan. Kerap kali rumah yang digunakan sekadar hadir sebagai tempat jalannya peristiwa semata, sehingga tak melekat kuat bagi penonton. Akibatnya penonton tidak memperoleh gambaran yang benar-benar jelas mengenai denah dari rumah tersebut. Seberapa pun besar atau kecil rumah dalam cerita ber-setting terbatas, sudah semestinya penonton dapat membayangkan denah letak setiap ruangannya. Bahkan termasuk setiap bagian yang ada di luar bangunan. Sayangnya Teka Teki Tika kurang baik dalam eksplorasi ini.
Teka Teki Tika memang baik dalam membawakan “teka-teki”-nya, namun tidak diimbangi dengan eksplorasi setting terbatasnya. Beberapa momen dialog pun terasa kaku dan kurang fleksibel, sehingga agak kurang nyaman saat didengar. Bahkan ini tidak hanya dari satu tokoh, melainkan hampir dari semuanya. Terutama adegan monolog dari seorang tokoh sentral di salah satu adegan pengakuan. Tampaknya meski menjadi semacam eksperimen agar tidak melulu berkutat dengan komedi, Ernest perlu mempelajari banyak koreksi melalui Teka Teki Tika ini. Teka Teki Tika pun agaknya akan lebih cocok disebut drama keluarga dengan kriminal misteri, daripada secara spesifik disebut thriller. Walaupun memang terdapat unsur misteri atau teka-teki dalam thriller, dan ada kalanya memasukkan unsur kriminal pula di sana.