Satu Suro (2019)
94 min|Horror|07 Feb 2019
6.2Rating: 6.2 / 10 from 104 usersMetascore: N/A
Bayu brings Adinda to hospital to give birth. Bayu goes back home and when he returns to the hospital he finds an empty, vacant old building.

Satu Suro merupakan film bergenre horor yang disutradarai oleh Anggy Umbara dengan Rumah produksi Pichouse Film dan Umbara Brother Film. Sang sineas, sebelumnya konsisten memproduksi film-film komedi sukses seperti, Mama Cake (2012), Seri Comic 8 seperti, Comic 8 (2014), Comic 8: Casino King part 1 (2015), Comic 8: Casino King Part 2 (2016), hingga reboot film Warkop DKI, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 dan Part 2. Sang sineas jarang memproduksi film horor, dan baru lalu bersama Rocky Soraya, ia menggarap Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) bersama rekan sutradara Rocky Soraya.

Satu Suro bercerita tentang pasangan muda Dinda (Citra Kirana) dan Bayu (Nino Fernandez) yang berpindah tempat tinggal ke sebuah lokasi yang jauh dari kota di daerah pegunungan. Rumah yang besar dan terlihat suram. Dinda yang hamil tua kini tengah mempersiapkan kelahiran anak pertamanya. Semenjak tinggal di sana, mereka sering mendapatkan gangguan-gangguan aneh yang membuat mereka tak tenang.

Sekilas, plot film ini nyaris mirip dengan Asih (2017). Pasangan muda yang mengalami pengalaman mistik, di saat tokohnya tengah hamil. Bahkan uniknya, sang aktris, Citra Kirana yang berperan di film Asih pun, dipilih untuk berakting di film ini. Terasa ada kesamaan peran dan sang aktris sendiri mampu memerankannya dengan baik. Tak hanya plotnya saja yang terasa mirip, Satu Suro juga menggunakan setting cerita tahun sekitar 1990-an.

Baca Juga  Moon Cake Story

Film ini mengambil tema besar tentang penanggalan Jawa, Satu Suro. Bagi masyarakat Jawa, malam Satu Suro dianggap sebagai malam keramat karena dianggap memiliki energi mistik yang lebih dibandingkan dengan lainnya. Sang sineas menjelaskan tentangĀ  Satu Suro melalui teks di awal film dengan menjelaskan bahwa malam ini adalah hari raya atau lebarannya makhluk halus. Topik ini jelas menarik untuk diangkat ke medium film. Film ini jelas mengingatkan pada film horor lawas legendaris, yakni Malam Satu Suro (1988) yang diperankan oleh Suzzanna. Sayangnya, film ini masih terasa kurang menyajikan suasana malam Satu Suro, seperti tanda-tanda alam untuk menegaskan tone bahwa malam tersebut adalah adalah malam yang berbeda dari biasanya.

Seperti horor kita kebanyakan, sang sineas membangun filmnya dengan ruang dan waktu yang terbatas, yakni di sebuah lokasi rumah sakit tua dan berlangsung semalam saja. Sang sineas secara umum masih menggunakan trik horor konvensional, namun pada beberapa adegan, ia mencoba trik berbeda untuk membangun ketegangan filmnya. Contoh ketika di rumah sakit, Dinda terjebak di alam gaib, sementara Bayu yang berada di alam nyata disajikan dengan begitu halus dan intens, walau temponya terlampau lambat. Informasi di rumah sakit berupa properti seperti penunjuk ruang serta tulisan di dinding juga mampu mendukung visual dalam membangun intensitas ketegangan kisahnya.

Sukses menggarap Suzzanna: Bernafas dalam Kubur membuat sang sineas lebih percaya diri untuk memproduksi film horornya sendiri. Walau sang sineas telah mencoba pendekatan visual yang berbeda, namun tetap saja dominan Satu Suro menggunakan trik horor umumnya, dan secara tema terbilang menarik karena telah berani mengangkat topik lokal dari mitologi masyarakat Jawa.

WATCH TRAILER

https://www.youtube.com/watch?v=teiY8XlbLMw

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaHappy Death Day 2U
Artikel BerikutnyaCalon Bini
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.