Makin banyak film animasi pendek dalam negeri yang mengusung nilai-nilai dan isu kelokalan. Salah satunya adalah animasi berjudul Kasat Mata yang baru tayang di Bioskop Online. Tepat tiga tahun lalu, 21 April 2020, animasi ini dirilis.
Kasat Mata berkisah tentang seorang nelayan yang menjadi korban tumpahan Kilang Minyak Montara. Ia menjadi salah satu dari sekian banyak nelayan dan petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur yang menjadi korban ledakan kilang minyak Thailand yang terjadi di Laut Timor pada tahun 2009. Si nelayan tak hanya kesulitan mencari ikan, ia dan anaknya kemudian mengalami penyakit kulit yang parah. Sambil menunggu laut kembali pulih, si nelayan merenungi nasibnya, ia berpikir Tuhan sedang marah dan menguji kaumnya.
Animasi berdurasi 8 menitan ini memiliki isu yang menarik dan jarang dikupas di animasi dalam negeri. Biasanya animasi dalam negeri yang mengusung tema lingkungan masih berkutat dalam isu distopia, tentang kondisi sebuah daerah yang alam lingkungannya rusak karena banjir dan polisi udara yang menahun. Namun, Kasat Mata berani menyuguhkan sebuah kondisi yang terinspirasi dari peristiwa riil yang menghancurkan perekonomian warga dan ekosistem laut Timor selama bertahun-tahun. Animasi ini juga merupakan wujud dukungan dari si penulis dan sutradara film, Sari Pololessy, agar masyarakat NTT yang terdampak oleh bencana tersebut mendapat keadilan setelah bertahun-tahun berjuang di pengadilan Australia.
Selain jalan ceritanya yang kental dengan isu lokal, animasi ini memiliki konsep artistik yang kaya ciri khas kelokalan dari narasi yang dibawakan Arief Maulana, yakni menggunakan bahasa daerah setempat, bangunan seperti rumah nelayan dan gereja serta bentang alam yang umum dijumpai di NTT, hingga desain karakter-karakternya yang berkulit sawo matang dan berambut ikal. Transisi gambar dari satu frame ke frame lainnya sudah cukup halus. Sari juga telah cukup berani mengeksplorasi lebih dalam gagasannya hingga menampilkan sosok tokoh utama yang nampak gamang di satu titik.
Sari menggunakan warna-warni yang hangat, dengan iringan musik minimalis dari alat musik petik tradisional garapan Yolanda Solin. Pilihan tersebut sebenarnya terasa kontradiktif dengan tema yang disodorkan. Atau mungkin warna dan musik tersebut dipilih karena selaras dengan pandangan si tokoh utama yang seperti pasrah dengan keadaan dan menganggapnya sebagai ujian Tuhan. Animasi ini sayangnya belum memiliki takarir dalam bahasa Indonesia. Namun, narasinya masih relatif mudah dipahami. Ada unsur gambar yang kurang konsisten antara satu frame dan lainnya.
Animasi produksi Universita Bina Nusantara ini berhasil membuat penonton merasa bercampur aduk emosinya, antara sedih dan marah. Hanya, film animasi yang menjadi nominasi dalam Festival Film Indonesia ini belum beruntung membawa pulang piala Citra pada tahun 2020.