Slumdog Millionaire (2008)
120 min|Crime, Drama, Romance|25 Dec 2008
8.0Rating: 8.0 / 10 from 900,112 usersMetascore: 84
When a teenager from the slums of Mumbai is interrogated about his suspicious performance on a quiz show, he revisits various events from his past to explain how he knew all the answers.

Slumdog Millionare (SM) adalah film drama roman garapan sineas Inggris, Danny Boyle yang diadaptasi dari novel Q & A karya Vikas Swarup. Uniknya, latar cerita, setting, hingga pemain semuanya bernafaskan India. Film terbukti sukses besar baik komersil maupun kritik. Puluhan penghargaan telah diraih SM di berbagai ajang bergengsi di dunia, dan baru saja dalam ajang Academy Awards film ini sukses luar biasa dengan meraih 8 Oscar termasuk film terbaik. Sedemikian hebatkah film ini?

Jamal (Dev Patel) adalah seorang pemuda miskin kota Mumbai yang kini beruntung dapat duduk di kursi panas kuis Who Wants to be Millionare yang dipandu Prem Kumar (Anil Kapoor). Tinggal selangkah lagi Jamal mendapatkan hadiah utama sebesar 20 juta Rupee, namun di masa rehat, mendadak ia digelandang dan diinterogasi polisi karena dituduh menipu dalam acara kuis tersebut. Jamal mencoba menjelaskan semua pada sang inspektur, bagaimana ia mampu menjawab tiap pertanyaan dalam kuis. Semua jawaban tak lepas dari kisah masa lalunya, hubungan dengan kakaknya, Salim (Madhut Mittaal), serta Latika (Freida Pinto), gadis yang juga sahabatnya sejak kecil.

Satu hal yang menjadi kekuatan utama film ini adalah naskahnya yang segar dan brilyan. Inti kisah yang sebenarnya sederhana memgesankan rumit akibat alur plotnya selalu bergerak maju-mundur melalui penuturan kilas-balik. Cerita yang berlangsung “kini” adalah Jamal yang tengah diinterogasi sang inspektur. Dasar pijakan alur cerita sesungguhnya adalah tiap pertanyaan dalam kuis. Jamal mampu menjawabnya dengan benar karena semua pertanyaan terkait dengan segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Tiap pertanyaan dan jawaban secara runtut menyinggung lika-liku kehidupan Jamal sejak ia kecil yang semuanya tersusun begitu rapi. Menjelang klimaks film seluruh plotnya menyatu, dan Boyle menyuguhkan kita sebuah klimaks yang indah dan tak terlupakan. Sebuah resolusi yang amat memuaskan dengan takdir dan cinta sebagai jawaban.

Baca Juga  Under The Tree, Tiga Kisah dalam Satu “Pohon”

Alur kisah yang bertempo cepat dan silih-berganti membuat SM sangat bertumpu pada aspek editing. Boyle memakai sentuhan yang sama dengan Trainspotting, film terdahulunya, melalui gaya editing cepat dan “kasar” dipadu dengan tata sinematografi yang dinamis. Boyle membawa kita menyusuri kawasan kumuh Kota Mumbai yang mampu disajikan dengan begitu meyakinkan. Dari sisi pemain, pencapaian mengagumkan diperlihatkan para pemain ciliknya yang mampu bermain begitu ekspresif dan natural. SM semakin sempurna melalui iringan ilustrasi musik dan lagu sentuhan komposer kenamaan India, A.R. Rahman. Di penghujung film, SM menampilkan satu sekuen musikal yang manis sebagai tribute terhadap film-film India mainstream. Satu-satunya kelemahan “kecil” SM adalah bahasa bicara yang didominasi bahasa Inggris. Rasanya film ini akan jauh lebih menarik dan meyakinkan jika banyak menggunakan bahasa aslinya (Hindi).

SM merupakan pertalian sempurna antara kultur barat dan timur, baik tema maupun estetik. SM menyorot sekilas masalah sosial dan budaya India, Kota Mumbai khususnya, seperti kemiskinan, prostitusi, kriminal, konflik antar agama, turisme, hingga Bollywood. Sulit rasanya mencari film tandingan SM dalam satu dekade ini, dan entah sudah sejak kapan, sebuah film bisa diproduksi sebaik ini. Elemen drama, roman, aksi, komedi, thriller, hingga musikal semuanya berpadu dengan sempurna menghasilkan sebuah tontonan ringan yang menghibur, menegangkan, dan menyentuh. Ah, andai semua film seperti ini…. pure and simple.. just Love.

Artikel SebelumnyaKedalaman Riset Membawa Kemenangan
Artikel BerikutnyaValkyrie
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses