The Conductors (2007) merupakan film dokumenter garapan Andybachtiar Yusuf yang juga sekaligus merangkap penulis dan produser. Sineas yang juga sebelumnya telah memproduksi film dokumenter tentang suporter sepakbola, yakni The Jak (2005). The Conductors meraih Piala Citra untuk film dokumenter terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun lalu dan ikut serta pula dalam ajang kompetisi Pusan Film Festival di Korea Selatan.

The Conductors memaparkan aktifitas tiga orang konduktor yang berbeda latar belakang. Adhie MS adalah konduktor orkestra kenamaan di negeri ini, sementara AG Sudibyo adalah konduktor paduan suara mahasiswa Universitas Indonesia, dan terakhir Yuli “Soemphil” Sugianto adalah konduktor suporter sepakbola kesebelasan Arema. Film bertutur secara bergantian menampilkan ketiganya serta menggambarkan aktifitas mereka sebagai seorang konduktor. Film juga menuturkan keseharian serta bagaimana visi mereka tentang profesi mereka lengkap dengan wawancara ketiganya.

The Conductors secara umum mampu memberikan sebuah tontonan menarik dan menghibur melalui ide cerita yang segar. Sineas secara bergantian menampilkan ketiganya dengan porsi yang relatif seimbang. Satu kelebihannya adalah kejelian sineas merekam momen-momen bernilai melalui pencapaian sinematografi yang sangat baik, seperti ketika Sudibyo memimpin paduan suara ribuan mahasiswa pada acara pamungkas, serta ketika Yuli memimpin ribuan suporter ketika timnya melawan tim asal Surabaya. Melalui wawancara dan rekaman gambar tanpa narasi, sineas juga cukup baik menangkap passion ketiga konduktor tersebut dalam menjalankan profesi mereka. Pada klimaks film, sineas mampu memberikan pukulan akhir yang begitu hebat tatkala ketiga konduktor tersebut bersama-sama memimpin lagu kebangsaan Indonesia Raya di tiga lokasi berbeda ruang dan waktu. Sineas secara bergantian memperlihatkan ketiganya dan tidak hanya secara visual namun audio pun berubah membahana ketika puluhan ribu suporter timnas menyanyikan lagu kebangsaan kita. Siapa pun pasti tergetar hatinya mendengar lagu kebangsaan kita begitu bergemuruh dilantunkan oleh puluhan ribu penonton di Stadion Gelora Bung Karno.

Baca Juga  Toko Barang Mantan

Di luar keistimewaannya, film ini juga memiliki beberapa kelemahan. Penonton rasanya kurang mendapat informasi yang cukup tentang latar-belakang ketiga konduktor tersebut. Siapa sebenarnya ketiga konduktor tersebut? Mengapa mereka yang dipilih? Apa pencapaian serta prestasi mereka? Secara sekilas memang disinggung namun masih terlalu minim dan jauh dari memuaskan. Hal yang menarik juga ketika sineas mencoba menampilkan keseharian mereka namun sayangnya lagi-lagi materinya pun sangat minim. Apa hanya itu sajakah cara mereka menghabiskan waktu senggangnya? Rasanya lebih lengkap dan menarik jika terdapat sedikit komentar orang-orang dekat mereka. Dalam sesi wawancara, pertanyaan kadang kurang fokus serta pertanyaan “tidak perlu” pun kadang terlontar, seperti ketika sineas menanyakan fungsi gerakan tangan konduktor. Sineas juga terlihat tanggung dan masih “malu-malu” untuk masuk dalam film (onscreen) sewaktu wawancara. Beberapa kelemahan kecil terkait teknis hanyalah masalah audio yang kadang kurang jelas serta beberapa shot tampak gerakan kamera sangat kasar. Di luar kelemahannya untuk produksi independen, The Conductors tergolong istimewa. Film ini juga memberi renungan bagi kita semua bahwasanya musik mampu mempersatukan serta mengangkat harkat dan martabat bangsa. Untuk sang sineas, kami sangat yakin ia masih mampu membuat karya yang lebih baik di masa mendatang.

Artikel SebelumnyaGenerasi Biru, Bermimpi Akan Pulau Biru
Artikel BerikutnyaBowling For Columbine, Mempertanyakan Kekerasan Senjata Api
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.