Tanah Surga... Katanya (2012)
91 min|Drama|15 Aug 2012
6.9Rating: 6.9 / 10 from 119 usersMetascore: N/A
A family lives in the frontier between Indonesia and Malaysia. But his son chooses to live in Malaysia because, in Indonesia, the government is not taking care of people in the frontier and his life in Malaysia is much better.

Film ini bercerita tentang sebuah keluarga yang tinggal di sebuah kampung perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Salman (Osa Aji Santoso) tinggal bersama kakeknya (Fuad Idris) di desa tersebut, sedang akhirnya ikut ayahnya tinggal di Malaysia untuk bekerja. Kakek salman, Hasim menolak untuk pergi bersama anaknya ke Malaysia karena ia lebih baik tinggal di negeri sendiri daripada tinggal di negeri orang. Hasim adalah bekas pejuang ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia tahun ‘65. Semangat nasionalismenya sangat tinggi dan ia selalu mengajarkannya pada Salman. Selain kisah Salman dan kakeknya ada pula kisah sang guru dan dokter muda yang rela membaktikan dirinya untuk melayani masyarakat disana.

Tema dari film ini adalah cinta tanah air dan nasionalisme namun tema film ini hanya digali kulit luarnya saja. Cinta tanah air seolah-olah diidentikan dengan menghargai bendera merah putih dan kebanggaan tinggal di negeri sendiri, meskipun terdapat cerita-cerita tentang nasionalisme yang bisa digali secara luas yang bisa memperkaya filmnya. Film ini juga berisi kritik terhadap pemerintah yang kurang peduli terhadap warga di wilayah perbatasan yang terlihat dari dari kurangnya pemerataan pembangunan serta sarana pelayanan masyarakat. Warga disana memenuhi segala kebutuhannya dari negeri seberang dan bahkan uang pun menggunakan mata uang ringgit. Seperti lagu yang selalu didendangkan dalam film, bukan lautan tapi kolam susu. Pesan yang ingin disampaikan dari film ini adalah negara kita yang katanya kaya namun rakyatnya banyak yang masih hidup miskin.

Baca Juga  Habibie & Ainun, Kisah Cinta Romantis dan Mengharukan

Sepanjang film hanya menggambarkan keseharian kampung tersebut hingga cerita cenderung datar dan konfliknya kurang digali. Film ini semata hanya mengambarkan realita yang ada di kampung tersebut tanpa menggali lebih dalam tentang latar belakang hingga solusi yang ditawarkan. Unsur komedi yang dibangun justru memberi kesan warga kampung tersebut baik-baik saja dan mereka tak menghiraukan soal kesejahteraan ataupun pemerataan dari pusat. Isu ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang sepanjang film menjadi permasalahannya juga tak begitu digali. Pak Hasim yang sakit keras terlihat seperti hanya bumbu cerita saja.

Film ini mendapatkan penghargaan film terbaik dan lima penghargan lainnya temasuk sutradara terbaik di ajang FFI 2012 baru lalu. Apa yang membuat film ini menjadi film terbaik? Apakah tema tentang nasionalisme menjadi ukuran sebuah film tersebut patut mendapat penghargaan tersebut? Secara cerita maupun teknis film ini tergolong tidak istimewa. Jika memang iya, hanya masalah tema tentang nasionalisme dan isu ekonomi-sosial di wilayah perbatasan Malaysia dan Indonesia. Film ini rasanya belum cukup mampu untuk menggugah rasa nasionalisme penontonnya. Tema-tema dengan isu sosial memang memiliki tempat yang tinggi di ajang FFI namun cara bertutur maupun pencapaian sinematik dalam sebuah film patut diapresiasi pula, tidak melulu tema namun bagaimana sebuah film dikemas perlu diperhatikan pula.

Artikel SebelumnyaArgo, Sebuah Dramatisasi Aksi Pelarian yang Menegangkan
Artikel BerikutnyaMika, Cinta Remaja dalam Ketidaksempurnaan
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.