Masih belum puas dengan film aksi-aksi laga brutal? Netflix merilis satu lagi bertitel The Shadow Strays yang digarap oleh sineas kawakan kita, Timo Tjahjanto. Sang sineas kita tahu pernah mengarahkan film-film aksi laga berkarakter sama, yakni Headshot (bersama Kimo Stamboel) dan The Night Comes for Us. Film terbarunya ini dibintangi oleh Aurora Ribero, Hana Malasan, Taskya Namya, Agra Piliang, Andri Mashadi, serta Chew Kin Wah. Sebrutal apakah film laga arahan sang sineas kali ini?

“13” (Ribero) adalah gadis pembunuh tangguh yang merupakan anggota kelompok The Shadows. Akibat satu kecerobohannya, sang mentor, Umbra (Malasan) tidak mengikutkan 13 dalam operasi dadakan di Kamboja. 13 pun kembali ke Jakarta, tiap hari menanti dengan cemas tanpa kabar yang jelas dari kelompoknya. Di selang waktunya, ia tanpa sengaja terseret dalam konflik di seputar tempat tinggalnya yang melibatkan seorang bocah cilik mengenaskan bernama Monji. Ibunya tewas dibunuh oleh sekelompok gangster dan sang bocah pun berusaha membalaskan dendam. 13 awalnya hanya berusaha mencari Monji yang menghilang, namun masalah ini rupanya lebih pelik dan berbahaya dari yang ia bayangkan.

Layaknya seri The Equalizer yang dibintangi Denzel Washington, plotnya senada, yakni seorang pembunuh profesional yang terlibat dalam satu kasus yang tak terduga di sekelilingnya. Poin plotnya simpel yang semata untuk memaksa adegan aksi-aksi brutal terus muncul, seperti halnya The Raid dan The Night Comes for Us. Bagi fans berat dua film ini, The Shadow Strays bakal memberikan kepuasan batin yang luar biasa. Tak butuh banyak berpikir, plotnya mengalir tanpa henti dari satu aksi ke aksi lainnya, nyaris nonstop. Sang sineas memang kita tahu memiliki skill khusus dan terampil dalam menyajikan aksi-aksi sadis macam ini. Aksi brutal demi aksi brutal terus makin naik levelnya hingga klimaks. Demi kepuasan visual, logika dan akal sehat bukan hal yang tabu untuk diabaikan. Jika mau ditulis di sini, mungkin akan berlembar-lembar. Tak perlu dan tak penting.

Baca Juga  Babylon AD

Hal-hal sepele yang seharusnya dianggap penting berulang kali dikesampingkan begitu saja. Bahkan di tengah segala kesadisan dan kebrutalan tanpa batas yang disajikan, masih saja “mengagungkan” nilai-nilai moral dan manusiawi. Film istimewa The Killer garapan David Fincher yang rilis tahun ini, pesannya seolah mengejek film-film senada yang menyelipkan dilema moral dengan berlagak sok suci. Apakah ada seorang pembunuh yang bermoral? Bahasan ini tentu bisa teramat panjang dan kompleks bagi subgenre “pembunuh bayaran” yang masing-masing memiliki tipe plotnya, sebut saja balas dendam, penebusan dosa, agen pembelot, hingga aksi bertahan hidup. The Shadow Strays dengan “rakus” mencoba mengisi itu semua dengan menempatkan dilema moral dalam posisi yang tidak tepat sehingga berkesan dibuat-buat.

Sudah tak ada keraguan bagi sang sineas dalam mengolah aksi-aksi brutalnya, namun The Shadow Strays semata hanya menawarkan itu dengan motif narasi yang memaksa. Seratus persen ini adalah tontonan wajib bagi para fans aksi macam ini. Sementara bagi sebagian penikmat, tontonan ini sudah terlalu jenuh dan  melelahkan. Tanpa motif kuat, aksi-aksinya terasa hambar, sehebat apa pun koreografinya. Baru lalu, film produksi India bertitel Kill menyuguhkan aksi senada bahkan jauh lebih brutal dan ruang lebih sempit. Bedanya, film ini memiliki eksposisi serta motif cerita kuat dengan kemasan kisah yang amat sederhana. Selain dominasi aksinya ada sesuatu yang konsisten dari sisi kausalitas melalui naskahnya yang solid tanpa pretensi moral. Film aksi brutal macam ini, kini memiliki target pasar yang tidak bisa diremehkan. Semoga penonton dan fansnya kelak bisa memilih dan memilah antara film aksi yang sekadar menghibur dan film aksi yang berkualitas.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaThe Substance
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.