Burton selanjutnya menggarap drama fantasi, Big Fish (2003) yang diadaptasi lepas dari novel berjudul sama karya Daniel Wallace. Film unik ini bertutur tentang seorang ayah yang berkisah tentang masa lalunya pada anaknya. Sang anak tidak mempercayai kisah ayahnya dan menganggap hanya imajinasi belaka. Sentuhan artistik Burton masih terasa sekalipun tidak menggunakan latar “gelap” seperti film sang sineas lazimnya. Sekalipun tidak sesukses film-film Burton sebelumnya namun secara kritik film ini sukses dengan meraih empat nominasi Golden Globe termasuk film terbaik.

Burton kembali berkolaborasi dengan sohibnya, Johnny Depp dalam film fantasi anak-anak Charlie and the Chocolate Factory (2005). Naskahnya diadaptasi lepas dari buku berjudul sama karya Roald Dahl. Kembali sentuhan set ekspresionistik serta warna-warna cerah sangat kental dalam filmnya tidak suram seperti filmnya kebanyakan. Elfman juga memberikan lagu serta ilustrasi musik “riang” yang pas dengan cerita filmnya. Untuk memproduksi film ini WB berani mengeluarkan bujet sebesar $150 juta dan hasilnya ternyata sangat memuaskan. Film ini meraih kurang lebih $475 juta di seluruh dunia menjadikan film ini adalah garapan Burton yang paling sukses.

Di tahun yang sama Burton juga merilis Corps Bride (2005) yang merupakan film animasi panjang stop motion pertama yang digarapnya. Kembali Burton memakai Depp kali ini untuk mengisi suara tokoh utamanya. Film ini berkisah tentang seorang pemuda yang secara tidak sengaja menikahi wanita yang telah mati. Setelah sekian lama Burton akhirnya kembali ke gaya aslinya yakni menggunakan tema “gelap” dengan sentuhan set ekspresionis yang suram. Film berbujet $40 juta ini mampu menghasilkan $117 juta di seluruh dunia dan sukses mendapatkan nominasi Oscar untuk film animasi terbaik.

Baca Juga  Catatan 82nd Academy Awards 2010

Kembali bersama Depp, Burton menggarap thriller-musikal berdarah, Sweeney Todd: The Demon barber of Fleet Street (2007). Film diadaptasi dari pertunjukan musikal berjudul sama karya Stephen Sondheim. Dengan gaya Burton yang khas, set suram berkabut kota London mendominasi filmnya. Penampilan Depp sebagai Benjamim Barker banyak dipuji pengamat termasuk ilustrasi musik dan lagu arahan Sondheim sendiri. Selain sukses komersil film ini juga sukses meraih piala Golden Globe untuk film (musikal/komedi) serta aktor utama (Depp). Film ini juga meraih Oscar untuk penata artistik terbaik serta dua nominasi untuk aktor utama serta kostum terbaik.

Tahun 2009, bersama sineas Rusia, Timur Bekmambetov, Burton memproduseri film animasi non stop-motion pertamanya, 9 (2009) yang filmnya digarap Shane Acker. Filmnya merupakan versi panjang film pendek karya Acker sendiri. Elfman juga terlibat dalam filmnya untuk menggarap musik temanya. Awal tahun ini kembali berkolaborasi bersama Depp dan Elfman, Burton menggarap film fantasi Alice in the Wonderland (2010) yang kisahnya merupakan cerita “lanjutan” dari novel populer berjudul sama. Dalam film berbujet $150 juta ini kembali sentuhan artistik Burton tampak begitu kental. Proyek selanjutnya dijadwalkan Burton akan me-remake kembali film pendeknya Frakenweenie serta bersama Depp menggarap adaptasi serial televisi, Dark Shadows.

1
2
3
4
5
6
Artikel SebelumnyaEd Wood
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.