Tusuk Jelangkung adalah film horor berdurasi 82 menit, karya sutradara Erwin Arnada. Film ini adalah produksi studio Max Pictures yang telah memproduksi film laris seperti Dilan 1990 (2018). Sang sineas sendiri telah menyutradarai film-film, seperti Rumah di Seribu Ombak (2012), Guru Ngaji (2018), dan Nini Thowok (2018). Pengalaman memproduksi film horor dirintis ketika ia menjadi produser dan penulis naskah Tusuk Jelangkung (2002) dan Jelangkung 3 (2007). Film Tusuk Jelangkung ini tidak ada hubungan cerita dengan film berjudul sama yang diproduksi tahun 2002. Film ini dibintangi oleh aktor dan aktris yang pendatang baru, yakni Nina Kozok, Anya Geraldine, dan Rayn Wijaya.

Film ini sendiri bercerita tentang dua kakak beradik bernama Sisi (Nina Kozok) dan Arik (Rayn Wijaya) yang dikisahkan sebagai vloger lokasi-lokasi yang dianggap angker. Mereka meminta sendiri dari pemirsa vlog-nya untuk menentukan tempat angker yang bakal mereka kunjungi. Dari kelima pilihan usulan penonton, mereka mengundi, dan kali ini yang terpilih Taman Lubang Buaya. Akhirnya, mereka ke lokasi tersebut dan tak menemukan apa-apa. Malam berikutnya Sisi datang sendiri ke lokasi tersebut dan memainkan sebuah Jelangkung. Ritual tersebut membuatnya dirinya masuk ke alam roh. Arik dan kekasihnya Mayang (Anya Geraldine) akhirnya berusaha untuk mencari keberadaan kakaknya.

Sejak awal background cerita dan penokohan sudah terlihat lemah. Kita bahkan tak tahu apa saja yang pernah mereka lakukan di vlog horornya sehingga sulit untuk penonton bisa masuk ke dalam karakternya. Satu scene saja tentang aktivitas mereka nge-vlog di lokasi horor akan memberikan informasi lebih pada penonton. Seberapa mereka berani dan nekat? Penampakan supernatural apa saja yang mereka temui? Latar lokasi yang akan mereka kunjungi juga kurang dieksplor. Di mana lokasi sebenarnya Taman lubang Buaya tak secara gamblang diungkapkan, namun dari visualisasi lokasinya, sepertinya ada di pulau Bali, dan bukan lokasi bersejarah yang seperti kita bayangkan. Satu hal yang menjadi masalah adalah kurang penggambaran sisi misteri lokasi tersebut. Seberapa angker tempatnya? Pernah ada kejadian apa saja di sana? Tak ada bahasan sama sekali. Satu dialog antara Sisi dan Arik mengatakan bahwa lokasi itu sensitif dan ia takut menjadi kontroversial. Lho, lantas dari mana para pemirsa tahu jika lokasi ini angker?

Baca Juga  Angel: Kami Semua Punya Mimpi

Segmen adegan yang dibangun menggunakan teknik crosscutting yang menampilkan secara bergantian, antara dunia roh danĀ  nyata. Plotnya memang fokus pada penyelamatan sang kakak, namun alurnya yang datar melemahkan tangga dramatik filmnya. Plotnya juga memperlihatkan proses yang terlihat cepat. Ketika Arik dan Kepala Desa masuk ke alam roh, mereka dengan mudah menemukan sang kakak. Dialog-dialognya juga amat sangat menganggu karena terlalu gamblang hingga membuat akting para pemainnya terlihat kaku. Secara umum, film ini tampak seperti sebuah sinetron yang dikemas dalam medium film. Belum lagi penggunaan teknik efek visual pada sosok hantunya justru malah membuat tidak realistik. Efek ketegangannya pun menjadi nol. Suasana desa yang senyap sebenarnya telah memberikan nuansa mistis yang diharapkan, namun sayangnya lagi-lagi kurang dieksplor dengan baik. Di tengah film-film horor bagus kita yang bermunculan, Tusuk Jelangkung hanyalah film horor berkualitas di bawah standar yang hanya memanfaatkan tren populer genrenya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaAquaman
Artikel BerikutnyaSilam
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.