Hanny Saputra, sineas yang mulai cukup dikenal melalui salah satu film arahannya Heart, kali ini ia menyutradarai sebuah film thriller psikologi berjudul 4 Mantan. Skenario film produksi RA Pictures ini ditulis oleh Demas Garin dan Talitha Tan, duet penulis yang baru meniti karir melalui genre horor. 4 Mantan diperankan oleh Ranty Maria, Melanie Berentz, Denira Wiraguna, Melayu Nicole, Jeff Smith, Cinta Brian, dan Ayu Dyah Pasha. Jika ditelisik lebih jauh, salah seorang pemeran dalam film ini pernah bermain dalam film yang cukup efektif menggaungkan nama sang sutradara. Namun, dengan catatan garapannya selama ini pula, apakah film ini punya nilai lebih?
Menjadi seorang anak tunggal yang ditumbuh-besarkan dengan cara tidak manusiawi, keras, dan penuh siksaan membuat Alex (Jeff Smith) memiliki kondisi psikologis tertentu. Kondisi ini membuatnya menebar kerumitan teror dan kompleksitas masalah di lingkungan pergaulannya. Di antara belasan tahun kehidupannya semenjak masih anak-anak hingga tumbuh dewasa, hadirlah orang-orang yang terbelah menjadi dua kelompok dalam menanggapi sosoknya. Kelompok pelaku perundungan, dan kelompok penerima sosok Alex, yakni Sara (Ranty Maria), Airin (Melanie Berentz), Amara (Denira Wiraguna), dan Nio (Cinta Brian). Pada kesempatan tertentu, Alex sudah tidak tertahankan lagi untuk selalu mengalah menerima perundungan itu hingga membuatnya bertindak merespons semua orang.
4 Mantan sebenarnya merupakan film dengan potensi ide untuk menjadi menarik. Kendati mengangkat dan memanfaatkan ranah psikologis dalam film bukanlah hal baru dalam perfilman Indonesia. Menariknya, film ini mengeksplorasi ranah kondisi psikologis lain di luar format klise film-film lain. Alih-alih melanggengkan autisme, cacat mental, maupun perbedaan psikologis sejenis, film ini justru merambah ranah lain melalui seseorang dengan kepribadian ganda. Tentu saja aspek ini tidak berdiri sendiri karena juga ada kondisi psikologis lain yang turut disertakan dengan latar belakang tertentu. Walaupun melihat kembali hasil akhir film ini, jelas para pembuatnya harus lebih banyak belajar lagi cara mengemas penyampaian kondisi psikologis tertentu agar tidak melulu “menggurui”.
Pasalnya, 4 Mantan langsung mengajari penontonnya “bagaimana cara menonton film ini, bagaimana cara memahami kompleksitas latar belakang masalah dalam film ini, serta bagaimana cara memahami alasan tindakan dari tokoh utama”. Padahal bila dilihat dari segi durasi, masih sangat mungkin film ini mencapai hasil yang lebih maksimal lagi jika saja para pembuatnya mau mengeluarkan effort lebih. Film ini bisa diisi oleh eksplorasi penjelasan dengan cara lain daripada menjelaskannya begitu saja lewat berparagraf dialog dari salah seorang tokoh semata. Sudah begitu, tokoh yang memberi penjelasan ini baru muncul di pertengahan film dan langsung mengambil alih perhatian dengan disiplin ilmunya sampai film selesai. Dia ini siapa? Muncul tanpa permisi.
Film ini memang terbilang kompleks. Latar belakang munculnya para tokoh, motif dari setiap aksi, serta alasan tindakan besar sang tokoh utama saling tumpang-tindih karena berangkat dari satu akar masalah besar yang terjadi jauh pada masa lalu. Kompleksitas yang sebetulnya menarik jika saja tidak dijelaskan gamblang begitu saja oleh dialog itu tadi. Bukan begitu caranya menjelaskan kompleksitas serta kerumitan faktor psikologis sebagai penggerak cerita dari seorang tokoh utama. Lalu dengan latar belakang alasan setiap tindakan sang tokoh yang memang memiliki kondisi psikologis berbeda. Banyak aspek filmis bisa dimanfaatkan untuk meng-cover kebutuhan naratif semacam itu. Salah satunya dengan merelasikan satu peristiwa dengan peristiwa lain atau satu benda dengan benda lain sehingga mampu memaksimalkan potensi durasinya.
Namun tidak. Film ini bahkan bisa kita baca dengan membelahnya jadi dua, segmen kompleks penuh misteri dan segmen tumpukan dialog penjelasan. Segmen horor tipis di menit-menit awal pun tak mencoba memosisikan sosok hantunya dengan baik dan layak. Sekadar membiarkannya selintas berlalu sebagai bahan untuk menebar ketakutan dan ketegangan belaka. Meskipun tetap terjawab, namun menempatkan jawaban tersebut tanpa membangun pertanda apapun, apakah tindakan itu bisa dimaklumi? Mengingat 4 Mantan pun bukan film horor.
4 Mantan bahkan ‘seolah-olah’ berlagak ingin memberi kejutan, membikin pusing penontonnya dalam berpikir, dan menciptakan rasa penasaran penuh tanya dalam benak, melalui kontradiksi antara sinopsis, trailer, dan filmnya, tapi malah melukai harapan penonton dengan pilihan antiklimaks lewat plot twist berisi “kuliah umum” ilmu psikologi dari salah seorang tokohnya. Kalau saja sineas 4 Mantan paham akan kemungkinan ini dan menggunakan cara-cara lain, itu bisa mengobati kecacatan film ini. Bukannya malah merobek cacat itu hingga membuatnya jadi luka yang sangat besar.
4 Mantan hanya ingin berbagi ketegangan belaka dari aksi saling bunuh. Hantu yang semestinya berasal dari sosok penting tapi tidak tergambarkan jelas siapa, serta kerumitan aspek psikologis. Seharusnya film ini jadi salah satu karya dengan daya tawar khusus dan menarik, tapi ketergesa-gesaannya merusak itu semua.