Sonic the Hedgehog (2020)
99 min|Action, Adventure, Comedy|14 Feb 2020
6.5Rating: 6.5 / 10 from 161,216 usersMetascore: 47
After discovering a small, blue, fast hedgehog, a small-town police officer must help him defeat an evil genius who wants to do experiments on him.

Penikmat permainan konsol tentu tak asing dengan sosok landak super cepat berwarna biru ini. Sonic the Hedgehog adalah film aksi petualangan yang diadaptasi dari game legendaris Sonic milik SEGA. Sonic digarap oleh sineas debutan Jeff Fowler dengan dibintangi komedian legendaris era 1990-an, Jim Carrey. Film berbujet USD 80-95 juta ini juga dibintangi James Marsden, Tika Sumpter, serta Ben Scwartz sebagai pengisi suara Sonic. Dari sekian banyak film adaptasi game, apakah kali ini Sonic menawarkan sesuatu yang berbeda?

Alkisah Sonic adalah mahluk asing yang bersembunyi dari planet ke planet untuk menghindari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kekuatan supernya. Sonic kini telah sekian lama hidup damai di Planet Bumi. Walau kesepian, dengan caranya ia mencoba untuk menjadi bagian dari kehidupan di kota kecil Greenville, Montana. Ia tahu semua orang di kota, walau nyaris tak ada seorang pun yang pernah melihatnya secara langsung. Idolanya adalah Tom, sang sherrif kota. Akhirnya, pihak pemerintah pun mengetahui keberadaan mahluk asing di Greenhill dan mengirim ilmuwan eksentrik, Dr. Robotnik.

Bagi penikmat game-nya, film ini tentu sangat menggugah rasa nostalgia. Walau dulu bukan game favorit saya sewaktu bermain konsol Dreamcast tetapi permainan ini memang menghibur karena visualnya yang dinamis. Filmnya pun, pada pembuka sempat menyajikan visual game-nya sebelum kisahnya bergerak ke dunia nyata alias Planet Bumi. Di babak pertama, di luar dugaan, kisahnya disajikan menarik dan atraktif hingga kita pun mudah berempati dengan Sonic secepat sosok ini berlari. Sayangnya, kisahnya mendadak berubah menjadi terlalu gamblang dan memaksa justru ketika sosok Robotnik muncul. Arah film menjadi mudah diantisipasi dan mengalir dengan ringan tanpa kejutan berarti hingga akhir.

Baca Juga  Meg 2: The Trench

Jim Carrey jelas menjadi perhatian utama di sini ketimbang sosok “CGI” Sonic. Bagi pengagum sang komedian, film ini jelas menjadi pelipur lara setelah sekian lama sang “detektif binatang peliharaan” ini menghilang dari gemerlap industri film selama belasan tahun. Jim bermain persis sama seperti di masa-masa jayanya dengan gaya bicara dan mimik wajah yang khas. Bahkan di film ini, Jim tidak tampak menua sama sekali. Walau gaya banyolnya terhitung lawas, namun Jim mampu menampilkan trik-trik humor dan celotehan tanpa keluar dari perannya (tak berlebihan).

Walau beberapa aksi dan visualnya memang menghibur, namun Sonic The Hedgehog tak banyak menawarkan sesuatu yang segar, kecuali sosok komedian ikonik Jim Carrey yang kembali dengan gaya komedi lamanya. Saya berharap sang aktor bisa come back ke industri film. Filmnya yang menyisipkan banyak tribute film populer lainnya juga menjadi hiburan tersendiri bagi penikmat film. Sosok Sonic sendiri, kini juga tak bisa terbilang orisinal dalam medium film modern karena hanya merupakan kombinasi dari karakter The Flash dan Doctor Strange, walau genrenya berbeda. Film ini ditutup dengan kemungkinan potensi sekuelnya dengan memunculkan karakter populer lainnya dalam permainan game-nya. Saya tak antusias dan cuma berharap Jim masih ada di sekuelnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel Sebelumnya4 Mantan
Artikel BerikutnyaSonic the Hedgehog
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.