Underworld: Awakening (2012)
88 min|Action, Fantasy, Horror|20 Jan 2012
6.3Rating: 6.3 / 10 from 165,989 usersMetascore: 39
When human forces discover the existence of the Vampire and Lycan clans, a war to eradicate both species commences. The vampire warrior Selene leads the battle against humankind.

Sukses seri-seri sebelumnya, Underworld (2003), Underworld: Evolution (2006), Underworld: Rise of the Lycans (2009), rasanya yang memicu produksi seri keempatnya ini walau sebenarnya tak sesukses yang diharapkan. Setelah seri ketiga yang merupakan prekuel dari dua seri sebelumnya, seri keempat kali ini merupakan sekuel dari seri keduanya. Untuk me-refresh kembali penonton lama dan kompromi dengan penonton baru, pada pembuka filmnya ditampilkan kilasan dua seri awalnya. Tampak sekali cerita sekuel kali ini dipaksakan. Selene dan Michael, di akhir seri kedua telah menjadi “dewa dan dewi” bagi kaumnya, Vampire dan Werewolf super. Lantas mau kemana lagi kisahnya?

Setelah happy ending bagi Selene dan Michael, dikisahkan manusia memburu dan memusnahkan ras vampir dan lycans yang mengancam mereka. Di awal film, Selene harus bersusah payah untuk menghalau manusia yang menghalangi jalannya. Selene dan Michael yang sudah demikian kuat ternyata masih kalah. Dua belas tahun kemudian, Selene terbangun dan mendapati dirinya di sebuah lab misterius, setelah bentrok para penjaga, ia pun keluar dari lab. Ia kini memiliki kemampuan supernatural untuk melihat apa yang dilihat seseorang yang ia pikir Michael. Setelah beberapa waktu barulah ia mengetahui bahwa visi yang ia lihat ternyata bukanlah dari Michael. Setelahnya, plot berjalan tanpa henti, pengejaran demi pengejaran, dan non stop aksi hingga akhir filmnya. Melelahkan? Tidak juga. Fans Selene pasti menikmati sekali perjalanan ini.

Baca Juga  Ice Age 3

Jelas kedalaman cerita bukanlah sebuah tawaran dari kisahnya. Aksi yang stylish serta efek visual seperti seri-seri sebelumnya menjadi menu utama yang dijual ke penonton. Bicara soal aksi, sekuelnya kali ini lebih keras, sadis, dan berdarah dari sebelumnya. Memang tak sesadis yang kita bayangkan hanya tampak gaya aksinya tak konsisten jika dibandingkan seri-seri sebelumnya. Selene yang sudah demikian kuat dan cepat ternyata masih harus bergantung pada senjata api yang nyaris tak pernah lepas dari tangannya. “Buat apa menodongkan pistol, kamu bisa membunuhku kapan saja kamu mau”, ujar Detektif Sebastian pada Selene. Kata-kata yang membuat saya tertawa kecil. Mungkin Selene masih kurang percaya diri dengan kekuatannya sendiri.

Kate Beckinsale seperti biasa bermain dingin dan cool sebagai Selene, persis seperti dua seri awalnya. Tak ada akting, hanya berlari dan berlari, berkelahi, dan menembak. Sayang aktor Scott Speedman yang bermain sebagai Michael tak lagi mau bermain di sekuelnya kali ini. Karakter Michael sekalipun sering kali disebut namun nyaris tak pernah tampak. Mungkin naskahnya berjalan berbeda jika karakter Michael tampil dominan seperti dua seri awalnya.

Tak banyak yang ditawarkan dari seri Underworld kali ini. Plotnya jelas terlalu dipaksakan dan hingga ending kisahnya pun masih menyisakan pertanyaan yang bisa memicu sekuelnya lagi, jika film ini sukses. Konflik abadi antara ras vampir dan lycans yang menjadi tema utama tiga seri sebelumnya telah luntur di seri kali ini. Para sesepuh vampir dan lycans yang karismatik sudah binasa di masa lalu. Selene dan Michael telah menjadi sosok super tanpa tanding. Lalu mau seperti apa lagi kisahnya?

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaMy Sassy Girls, Kisah Cinta Tak Biasa
Artikel BerikutnyaLove Actually vs New Year’s Eve
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses