“I wish we could hire people to take them down”
Do Revenge adalah film drama remaja arahan Jennifer Kaytin Robinson. Kisahnya konon diinspirasi dari film kriminal legendaris, Stranger on a Train arahan Alfred Hitchcock. Film ini dibintangi sederetan bintang muda, Camilla Mender, Maya Hawke, Sophie Turner, serta Sarah Michelle Gellar. Film ini dirilis Netflix, kemarin. Lantas, seberapa jauh premis “Stranger on a Train” diperlakukan plotnya?
Drea (Mendez) adalah seorang siswi SMU yang dipermalukan pacarnya, Max, setelah video hubungan intimnya tersebar luas. Sementara Eleanor (Hawke) adalah siswi SMU yang dipermalukan pacar lesbiannya, Carissa. Kedua gadis yang dijauhi rekan satu sekolahnya ini, lalu membuat skenario balas dendam dengan saling bertukar tempat agar aksi mereka tidak tercium. Keduanya tanpa disadari terjebak dalam satu permainan yang membuat mereka kehilangan diri mereka sendiri.
Jika mau dibandingkan dengan Stranger on a Train, kisah kemelut remaja ini jelas terbilang tidak serius dan main-main. Jika genrenya berbeda (horor-thriller), bisa jadi plotnya jauh lebih menggigit. Tanpa komparasi pun, plot filmnya sudah terjebak dalam kerumitan kisahnya sendiri. Intrik demi intrik berlalu, tanpa bisa kita pahami motifnya hingga kita pun tidak peduli lagi dengan karakternya. Untuk level otak anak SMU, skenario balas dendam macam ini jelas terlalu berat. Lalu twist ending-nya, aduh alamak! Arahnya sudah jelas, mengapa harus dibuat seribet ini? Ibarat kita membeli roti daging, lalu rekan kita berkata itu bukan roti daging, faktanya, itu benar roti daging. Kita seperti tertipu padahal sebenarnya tidak.
Do Revenge terjebak dalam kemelut plotnya yang tumpang tindih hingga koneksi kita lepas dengan tiap karakternya, belum lagi para kastingnya yang terlihat sekali sudah bukan remaja. Coba saja cek umur masing-masing bintangnya, Camilla Mendez misalnya, sudah berumur 28 tahun! Sang kepala sekolah “Buffy” (Gellar) malah terlihat muda untuk perannya. Apa hanya saya yang melihat ini. Jika naskahnya main-main, kasting pun terlalu memaksa, lantas bagaimana kita mau menanggapi serius kisahnya?