Yowis Ben II (2019)
109 min|Comedy, Drama|14 Mar 2019
7.1Rating: 7.1 / 10 from 396 usersMetascore: N/A
The popularity of Yowis Ben in Malang doesn't resolve Bayu's financial problems. The other members also have their own problems. Then they are introduced to Cak Jim who claims can raise them become a national artist.

Yowis Ben 2 produksi Starvision merupakan sekuel dari film perdananya yang tayang tahun lalu dan sukses mendapatkan 935.622 penonton. Dalam film ini, Fajar Nugros masih berkolaborasi bersama Bayu Skak sebagai sutradara, di mana Bayu turut berakting di filmnya. Film ini dirilis pada 14 Maret 2019, tepat 2 minggu setelah film Dilan 1991 rilis. Terlepas dari demam film Dilan 1991 yang hingga artikel ini ditulis hampir mencapai 5 juta penonton, Yowis Ben 2 tampaknya juga bakal mampu menarik perhatian penonton.

Terkait animo penonton, ada sebuah fenomena menarik ketika saya ingin menonton film ini. Saya membeli tiket on the spot dan melihat antrean panjang. Ketika giliran saya, bangku banyak yang sudah penuh bahkan sampai pemutaran jam terakhir, beruntung saya mendapatkan bangku kosong yang sebenarnya posisinya kurang nyaman. Beberapa calon penonton, saya lihat akhirnya mencoba peruntungan di bioskop lain. Entah mengapa, ketika jam pemutaran telah tiba, tak biasanya mundur hingga 15 menit. Alhasil, para penonton pun menungggu begitu membludak di lorong studio layaknya menonton sebuah konser. Ini menggambarkan animo penonton yang begitu tinggi, dan kita lihat saja beberapa hari ke depan, apakah penonton film ini melebihi film pertamanya. Lalu, bagaimana dengan filmnya sendiri?

Kisah filmnya melanjutkan satu kelompok grup band dari Malang bernama Yowes Ben. Tokohnya masih diperankan oleh pemain yang sama, yakni Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Yayan (Tutus Thomson), dan Nando (Brandon Salim). Alkisah, mereka akhirnya lulus dari SMA. Susan (Cut Meyriska), kekasih dari Bayu melanjutkan kuliah di Jerman. Susan pun memutuskan hubungannya dengan Bayu secara sepihak. Bayu pun kecewa. Selain itu, Bayu harus menghadapi masalah ekonomi di keluarganya. Di tengah ketidakpastian dan himpitan ekonomi, Bayu dan Doni bertemu dengan produser musik yang menawarinya untuk bisa mengembangkan grup band-nya. Mereka akhirnya meninggalkan Malang dan pergi ke Bandung untuk mengejar dunia industri musik.

Baca Juga  Lampor Keranda Terbang

Jika dibandingkan film pertamanya, sekuelnya ini hampir memiliki kesamaan cerita, hanya saja terdapat perbedaan kecil. Kali ini, sang sineas mengambil plot petualangan band “Yowis Ben” untuk menggapai mimpinya sukses di dunia musik. Cerita film masih berkutat pada persoalan keluarga, serta juga Bayu yang mengejar pujaan hatinya. Konflik cerita kembali seputar menguji kesolidan band ketika menghadapi masalah. Subplot yang terlalu banyak, kadang membuat kisahnya tidak fokus. Beberapa plotnya juga masih mengabaikan logika dan terlihat memaksa. Sang sineas memang tampak menekankan pada hubungan chemistry antartokohnya, namun kisahnya masih terasa lemah. Terlepas dari kelemahan plotnya, film ini memiliki pesan moral yang kuat tentang keluarga dengan pendekatan komedi yang unik dan khas.

Dari sisi komedi yang memang dominan, tampaknya film ini berhasil. Seisi bioskop, tertawa terbahak-bahak ketika tiap kali mendengar banyolan mereka. Sama seperti sebelumnya, dialog menggunakan bahasa Jawa Timur dengan aksen dan umpatan yang khas. Ketika saya menonton film ini, hampir semua penonton tertawa ketika mendengar umpatan “Janc*k!”. Ini adalah satu umpatan khas Jawa Timur yang sering digunakan untuk mengekspresikan kekesalan. Nyaris sepanjang film, umpatan ini mendominasi tiap adegannya, dan sepertinya sang sineas sengaja melakukan ini sebagai bumbu komedi. Sepanjang film yang menggunakan bahasa daerah, membuat ekspresi tiap tokohnya terlihat natural yang hidup. Tak hanya bahasa Jawa Timur, bahasa khas Sunda pun mewarnai filmnya.

Selain penampilan para pemain mudanya, komedian senior lokal, seperti Cak Kartolo, Cak Wito, dan Cak Jon memberikan nuansa komedi tersendiri. Penampilan istimewa berupa cameo, Gubernur Jawa Barat (Ridwan Kamil) dan putra Presiden Jokowi (Gibran Rakabuming) pun menjadi kejutan. Seperti film pertamanya, unsur musik dan lagu menjadi kekuatan dari filmnya. Simak saja lirik berikut, “Saben bengi aku ra iso turu…ra iso turu…mikirno awakmu…Saben bengi aku ra iso turu…ra iso turu…mikirno awakmu…”. Penggalan lagu di atas adalah paling sering muncul, yang membuat kita selalu terngiang-ngiang pada lagu ini. Lirik-lirik lagunya yang unik dan berani berbeda memang menjadi warna tersendiri dalam filmnya. Walau tak ada sesuatu yang benar-benar berbeda dari film aslinya, Yowis Ben setidaknya mampu mengobati rasa rindu para penggemarnya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaWonder Park
Artikel BerikutnyaFive Feet Apart
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.