Five Feet Apart (2019)
116 min|Drama, Romance|15 Mar 2019
7.2Rating: 7.2 / 10 from 83,706 usersMetascore: 53
A pair of teenagers with cystic fibrosis meet in a hospital and fall in love, though their disease means they must avoid close physical contact.

Five Feet Apart adalah film roman remaja yang diarahkan oleh Justin Baldoni yang lebih dikenal menggarap serial televisi. Film produksi CBS Films berbujet US$ 7 juta ini dibintangi oleh dua bintang muda, Haley Lu Richardson dan Cole Sprouse. Film-film roman sejenis sebelumnya telah diproduksi sebut saja, The Fault in Our Star hingga Me and Earl and the Dying Girl. Dibandingkan keduanya, rasanya Five Feet Apart masih berada jauh di bawahnya, baik secara kisah maupun estetik.

Alkisah Stella adalah seorang remaja pengidap kelainan genetik pada paru-paru (cystic fibrosis) yang telah dirawat sejak cilik. Kini, Stella menjalani kesehariannya di rumah sakit dengan segala rutinitas mediknya. Suatu ketika, Stella bertemu dengan Will, seorang remaja pengidap penyakit yang sama, dan sosok sang pemuda menarik perhatiannya. Keduanya berujung dengan saling menyukai satu sama lain, walau mereka hanya diperbolehkan berjarak 6 feet karena bakteri mematikan yang bisa menulari mereka satu sama lain.

Premisnya menarik, dan sejujurnya lebih dari separuh kisah filmnya diawali dengan sangat baik. Kisah filmnya hanya terbatas dalam rumah sakit, dan hanya ruangan itu-itu saja. Namun, pengembangan kisahnya amat mengasyikkan untuk diikuti dan terbatasnya ruang tidak lantas membatasi kedinamisan plotnya. Teknik crosscutting dan montage amat dominan digunakan dan secara efektif saling bergantian menampilkan sosok Stella dan Will. Dalam montage-nya, lantunan nomor-nomor manis yang lembut pun amat pas mengiring tiap momennya. Belum lagi ditambah penampilan dua bintangnya yang sangat memukau, dengan chemistry yang terjalin amat baik di awal kisah. Satu hal yang membuat kisahnya menarik sebenarnya adalah semua aturan dan SOP rumah sakit yang membatasi mereka. Ketika itu semua dilanggar, semua mendadak berubah mood.

Berjalannya cerita, tensi plot justru semakin menurun dan tak lagi menarik, bahkan beberapa hal terasa sama sekali tak masuk akal yang rasanya banyak melanggar aturan rumah sakit atau rawat inap, terlebih penderita penyakit khusus seperti mereka. Di awal, telah ditetapkan jarak minimal antara pasien adalah enam kaki (six feet), mendadak dalam satu momen semua berubah (5 kaki seperti judul filmnya). Oke, bisa jadi ini adalah satu bentuk simbolik dari rasa percaya diri dan keyakinan Stella untuk sembuh, tapi sebagai tontonan, apakah secara medik ini mendidik? Coba satu hal lagi, apa memungkinkan di rumah sakit kita mengadakan pesta secara diam-diam? Setelah momen ini, seolah semua aturan menjadi tak berarti, dan kisahnya tak ubahnya roman remaja tak berkelas dengan adegan klimaks yang konyol dengan ending memaksa.

Baca Juga  Spider-Man: Into the Spider-Verse

Mengawali dengan setting minimalis dan permainan menawan dua bintangnya, Five Feet Apart ternyata hanya berakhir sebagai roman remaja medioker. Film ini sebenarnya memiliki potensi lebih untuk bisa menginspirasi bagi para penderita penyakit yang sama untuk terus berjuang dan tidak pernah menyerah, namun dengan semua aturan yang dilanggarnya, saya tak bisa banyak komentar. Dengan segala pencapaian dan kemasan estetiknya yang disajikan amat baik, maaf, saya melihatnya, film ini semata hanya menggunakan “penyakit” sebagai tempelan untuk menjual filmnya. Apa kalian bisa lihat poster dibelakang pintu kamar Stella yang bergambar orang bermeditasi lengkap dengan chakra (dominan dalam filmnya), mengapa sineas tak menggunakan ini untuk menyampaikan pesannya (peace of mind)?

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaYowis Ben 2
Artikel BerikutnyaCaptain Marvel Bakal Tembus US$ 1 B?
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.