Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018)
117 min|Animation, Action, Adventure|14 Dec 2018
8.4Rating: 8.4 / 10 from 681,744 usersMetascore: 87
Teen Miles Morales becomes the Spider-Man of his universe and must join with five spider-powered individuals from other dimensions to stop a threat for all realities.

Spider-Man: Into the Spider-Verse merupakan film animasi superhero yang menampilkan sosok “Spider-Man” dalam banyak versi. Film ini diarahkan oleh 3 sutradara sekaligus, yakni Peter Ramsey, Rodney Rothman, dan Bob Persichetti. Film ini diadaptasi dari komik Spider-Man yang kini dilakonkan oleh sosok Miles Morales. Spider-Verse juga diisi suara oleh Shameik Moore, Jake Johnson, Hailee Steinfield, Nicholas Cage, hingga Mahershala Ali. Film berdurasi 117 menit ini berbujet produksi sebesar US$ 90 juta. Film animasi ini rasanya bakal sukses, terbukti telah banyak dipuji kritikus, serta prestasi terbarunya meraih nominasi Golden Globe untuk kategori film animasi terbaik. Kurang apa lagi coba film animasi ini, lantas bagaimana dengan filmnya sendiri?

Alkisah Miles Morales adalah pemuda yang mengagumi sosok Spider-Man. Ayahnya yang seorang polisi justru sebaliknya menganggap pahlawan laba-laba tersebut selalu bertindak di luar aturan hukum. Suatu ketika, Miles yang menyukai seni mural (graffiti) diajak pamannya pergi ke stasiun bawah tanah yang telah terbengkalai agar ia bisa membuat gambar mural dengan leluasa di sana. Sebuah laba-laba aneh menggigit tangannya, dan sejak itu, Miles merasa inderanya menjadi lebih sensitif, tubuhnya bertambah kuat, bahkan ia mampu berjalan di dinding. Tanpa sengaja, ia bertemu dengan Spider-Man (Peter Parker) yang tengah beraksi menghalangi niat sang bos jahat, King Pin, untuk mengoperasikan sebuah mesin pembuka dimensi lain. Miles ternyata berada di waktu dan tempat yang salah. Sejak itulah peristiwa aneh mulai terjadi dengan kemunculan sosok Spiderman dari dimensi lain.

Membaca sinopsis ringkas di atas, tampak jika kisahnya sudah rumit untuk diikuti. Faktanya memang iya. Bagi fans film fiksi ilmiah, multi dimensi atau dimensi alternatif, atau apalah, jelas adalah hal yang sudah biasa, namun tentu bukan hal biasa untuk genre superhero. Film ini jelas terlalu kompleks untuk penonton anak-anak jika memang mereka targetnya. Kisahnya yang absurd memang sulit untuk dinalar. Multi dimensi bisa ribuan, mengapa hanya lima versi “Spider-Man” tersebut yang masuk ke dimensi ini? Jika multi dimensi dimaksudkan berdasarkan timeline saat ini, lantas darimana pula Spider-Man Noir, Spider-Ham (babi), atau “Spider- Anime” berasal? Jelas percuma kita bicara soal nalar bukan? Toh, ini juga adaptasi komik.

Baca Juga  Murder on the Orient Express

Mudahnya, kita bicara soal inti kisah filmnya saja. Poin utama adalah hubungan ayah dan anak. Hubungan Miles dengan ayahnya yang seorang seorang polisi tidak harmonis karena sang ayah dianggap terlalu memaksanya untuk banyak hal. Kisah filmnya, kurang lebih hanya untuk mendewasakan sosok Miles. Serangkaian petualangan bersama rekan-rekan barunya dari dimensi lain, dengan segala kerumitan plotnya, semata hanya membantunya untuk mencari dan menemukan jati dirinya. Plot ini terasa familiar bukan? Latar sosok Miles lantas jadi pertanyaan besar. Miles bukanlah Peter Parker yang harus menderita hebat karena rasa bersalahnya terhadap kematian Paman Ben. Lalu, apa yang membuatnya pantas menerima kekuatan sedemikian besar? Saya tak bisa melihat jawabnya.

Melihat film ini (dari sisi cerita), tak ubahnya menonton film animasi superhero versi Home Video. Skenario film ini jelas terlalu sulit untuk dibuat versi live-action-nya. Ini mengapa film superhero versi animasi sering kali jauh lebih baik dari versi live action. Kalau pernah menonton film animasi home-video superhero, khususnya superhero DC universe produksi Warner Animation, konsep plot multi dimensi bukanlah satu hal yang baru. Beberapa film animasi DC memiliki kualitas cerita yang jauh lebih baik dari ini, sebut saja Justice League: Doom, Justice League: Flash Point Paradox, hingga Justice League Dark. (Baca artikel: https://montasefilm.com/superioritas-superhero-dc-animasi/). Eksplorasi cerita film-film animasi ini jauh lebih berani dari kisah Spider-Verse ini.

Bicara soal kemasan filmnya adalah satu nilai lebih film ini. Spider-Verse memiliki gaya animasi unik yang mengkombinasikan teknik animasi CGI dengan gambar tradisional yang dibuat dengan skets (tangan). Hasilnya adalah satu sajian animasi mengesankan yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Bahkan film ini juga menampilkan tribute bagi anime (film animasi Jepang) melalui sosok karakter Peni Parker dan robotnya. Aspek visual di atas, efek suara, dan satu lagi yang mendominasi adalah musik dan lagu, adalah faktor-faktor yang memberi poin besar, mengapa film ini begitu enak untuk dinikmati.

Dengan kisah absurd, Spider-Man: Into the Spider-Verse menawakan sesuatu yang baru untuk genrenya, dengan tema diversitas yang dikemas dalam gaya animasi bernuansa komik yang penuh warna. Tema keberagaman memang tampak dominan dalam filmnya. Sesuatu yang kini tengah panas-panasnya dalam industri film Hollywood sejak sukses Black Panther awal tahun lalu. Film ini jelas sangat menghibur bagi para fans Spider-Man. Sementara bagi penikmat film bakal disukai karena terobosan tema dan sisi visualnya. Tapi, dijamin penonton anak-anak bakal kesulitan mencerna filmnya, bisa jadi orang tuanya pun bakal sama.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaSilam
Artikel BerikutnyaBumblebee
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.