96 jam

Bisakah sebuah peristiwa penculikan selama berhari-hari mengubah sikap anak-anak orang kaya dengan kebiasaan manja, sok berkuasa, dan semena-mena mereka? Sonu S. mengangkat pertanyaan tersebut melalui debutnya sebagai sutradara dalam 96 Jam. Ia pula yang memproduseri series drama remaja dan aksi kriminal ini lewat produksi Sky Films. Para pemeran untuk anak-anak SMA-nya masihlah terhitung baru, yaitu Maudy Effrosina, Irzan Faiq, Gabriella Ekaputri, terutama Arya Mohan, Lea Ciarachel, dan Farandika, lalu ada Ratu Felisha. Berhasilkah karya debutan ini, ketika sineasnya sendiri menjabat pula sebagai produser?

SMA Mandiri Jaya berisikan siswa-siswi elite anak-anak orang kaya, termasuk putri pemilik yayasan sendiri. Lima remaja yang paling disorot dalam sekolah tersebut adalah Karin (Gabriella), Dara (Lea), Tommy (Farandika), Yuza (Irzan), dan Bintang (Arya), karena sikap, tata krama, dan latar belakang mereka. Ada pula sang penerima beasiswa dan peringkat pertama di sekolah, Dinda (Maudy) yang kerap dimusuhi oleh geng putri pemilik yayasan. Suatu ketika, sekolah mengadakan kunjungan ke sebuah galeri seni dengan membawa enam siswa dan siswi tersebut bersama salah seorang guru, Bu Sisca (Felisha) sebagai pendamping mereka. Namun, rupanya Ramos (Rifnu) berencana menculik mereka demi miliaran uang tebusan.

Seiring series kian menjamur sejak beberapa tahun lalu, produksinya pun tampak disepelekan. Ada cukup banyak sutradara, produser, maupun penulis yang menggampangkan pekerjaan mereka, sehingga berdampak buruk terhadap series yang mereka kerjakan. Walhasil, judul-judul macam Antares (2021), Kaget Nikah (2021), Mercury (2022), Mendua (2022), dan Skaya and the Big Boss (2023) pun bermunculan. Khususnya untuk tema-tema menyangkut remaja SMA. Begitu pula 96 Jam dengan “kekosongan” serta pertunjukan para amatirannya.

96 Jam gagal menghadirkan sensasi penyekapan dan penyanderaan dengan maksimal. Adegan-adegannya sekadar menyajikan perkelahian antar-anak muda dengan beragam kata-kata kasar. Seolah untuk menunjukkan konflik satu sama lain sudah cukup dengan mengobral banyak sekali ungkapan kasar dalam dialog. Apakah penulis 96 Jam sama sekali tidak mempertimbangkan kausalitas antara tiga dimensi karakter dan latar belakang para tokoh dengan eksekusinya dalam skenario? Belum lagi peran kepolisian yang “lagi-lagi” tercundang dan gagal menyikapi situasi, termasuk memanfaatkan kecanggihan teknologi. Apa gunanya mereka menyambungkan ponsel salah satu orang tua siswa dengan semacam alat khusus, tetapi tak melakukan pelacakan apa pun.

Skenario 96 Jam benar-benar sepenuhnya teramat sangat bermasalah. Untuk apa pula ada banyak senjata api di kandang para penculik, tetapi tak dimanfaatkan dengan baik. Mulanya, para penculik tampak seram dan menakutkan dalam episode satu dengan senjata-senjata itu. Bahkan ada cukup banyak laras panjang. Namun, nyatanya semua itu hanya jadi pegangan belaka. Baru belakangan dalam episode-episode akhir mereka menggunakannya. Bahkan tidak ada satu siswa pun yang mengambil senjata tersebut, setelah mereka melumpuhkan beberapa penjaga. Sang guru yang kemudian tewas juga asal terabas ke arah bos penculik, padahal ada pistol di dekat kakinya.

Baca Juga  Hawkeye

Masih ada begitu banyak lagi kecacatan dalam skenario 96 Jam, tetapi tidak akan cukup membahasnya dalam satu kali kesempatan. Termasuk durasi penculikan hingga 96 jam (empat hari) yang rasa-rasanya tidak memiliki urgensi untuk bisa mencapai selama itu. Masalah-masalah yang kemudian muncul terlalu mengada-ada dan terkesan dibuat-buat hanya demi memanjangkan durasi cerita. Malah series ini juga tidak perlu sampai delapan episode. Empat episode cukup, seperti Hitam (2021), karena problematikanya bisa lebih dimampatkan. Durasi penculikan pun harusnya dua hari, jika para polisi mampu mengandalkan teknologi dan para siswa dapat lebih “cerdas” lagi dalam merespons situasi.

Bila harus menjelaskan dalam persentase skor dari skala 0 sampai 100, 96 Jam hanya layak mendapatkan 30%. 15% untuk olah peran Tengku Rifnu dengan air muka khas penjahatnya, dan 15% lainnya untuk akting Donny Alamsyah sebagai orang tua salah satu siswa. Hanya dua aspek ini saja kelebihan 96 Jam. Sisanya, kosong, baik dari segi teknis pengambilan gambar, editing, suara, riasan, dan lainnya. Bahkan logika untuk merawat luka tembak di dada teman sendiri, Tommy, juga nihil penalaran. Semua orang membiarkan luka yang dialaminya sejak hari penculikan ke-2 (36 jam) dalam episode keempat, terus berdarah-darah dan mencetak warna merah menembus baju.

Penghujung 96 Jam yang menyoroti kondisi terkini Emir (Bastian Steel) dan pamannya, Hamid (Indra Brasco) juga mempermainkan simpati penonton terhadap si tukang bersih-bersih sekolah itu. Bisa-bisanya seusai lewat beberapa waktu pascakepergiannya menghilang dari radar polisi, ternyata sedang bersantai menyusuri laut sambil menyetir speedboat. Ke mana masalah terkait kesehatan salah seorang anggota keluarganya yang muncul dalam episode enam? Bagaimana kemudian kondisi sang adik dengan kanker stadium akhirnya?

Terkhusus perkara penokohannya dan tindakan para tokoh yang serba meledak-ledak kapan pun. Beruntungnya ada Tengku Rifnu dan Donny Alamsyah. Akting mereka berperan signifikan memengaruhi series ini, sehingga terlihat “sedikit” lebih menarik. Series drama kriminal dan aksi terakhir rilisan Vidio yang cukup bagus masihlah Katarsis. Jauh sekali berada di bawah drama kriminal yang menglorifikasi pembunuhan tersebut.

PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaThe Roundup: No Way Out
Artikel BerikutnyaInsidious: The Red Door
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.