Seri final Disney dan Marvel di penghujung tahun ini, Hawkeye menampilkan sang superhero dengan berlatar momen liburan natal. Hawkeye digarap oleh Jonathan Igla dengan menampilkan sederetan bintang-bintang besar antara lain, Jeremy Renner, Hailee Steinfeld, Vera Farmiga, Tony Dalton, Linda Cardellini, Florence Pugh, hingga Vincent D’onofrio. Setelah rilis seri Marvel Cinematic Universe (MCU) berkualitas tinggi sebelumnya, apakah Hawkeye mampu bersanding sejajar?

Kate Bishop (Steinfeld) sejak kecil terinpirasi oleh aksi Hawkeye sejak invasi New York dalam peristiwa Marvel’s Avengers. Kate melatih dirinya dengan menguasai ilmu beladiri serta tentu memanah dengan menjadi yang terbaik melalui puluhan penghargaan turnamen yang ia dapat. Suatu ketika, Kate secara tak sengaja terlibat dalam aksi pencurian barang berharga dengan sindikat Rusia di belakangnya. Satu diantaranya adalah kostum milik Ronin (digunakan Clint Barton semasa blip). Dalam satu momen, Kate menggunakan kostum Ronin, dan dari sinilah publik mengira bahwa sosok legendaris ini telah kembali. Clint yang tengah berlibur dengan putra-putrinya, tahu akan hal ini, dan ia pun mencari kostumnya. Mengetahui adalah Kate yang mengenakannya, Barton pun berusaha melindungi Kate, dan rupanya ini berujung pada masalah yang jauh lebih besar.

Setelah sosok Black Widow mendapat film layar lebarnya, rupanya Hawkeye yang merupakan salah satu member tertua Avenger juga dirasa layak mendapatkan filmnya sendiri. Apa yang kita harapkan dari Hawkeye yang memang latar sosoknya minim sekali disajikan? Seperti sosok Widow, film ini tidak menampilkan origin story sosok superhero ini, namun menempel pada cerita semesta sinematiknya yang mengambil momen setelah peristiwa Endgame. Dengan mengambil momen liburan natal, filmnya pun tak jauh dari tema keluarga dan persahabatan, dengan tidak banyak menampilkan aksi kekerasan yang brutal. Selain Kate, beberapa sosok “super” lainnya pun muncul di sini, sebut saja Yelena dan Maya. Namun, sayangnya dua sosok potensial ini tidak banyak dieksplor terlalu jauh. Misal saja, konflik Yelena – Barton disajikan terlalu berlebihan, dan semua orang bakal tahu bagaimana ini berakhir. Tak ada sengatan sama sekali, termasuk sisi humornya.

Baca Juga  Lady Bird

Satu karakter yang menonjol hanyalah Kate Bishop. Steinfeld berhasil membuat sosok Kate menjadi  terlihat enerjik dan menyenangkan dalam semua adegannya. Dalam beberapa momen chemistry-nya dengan sang mentor juga terjalin apik di awal pertemuan mereka. Hanya saja, entah ini disengaja atau tidak, sosok Barton memang terlihat terlalu dingin dan kaku, dan sosok Kate yang acap kali membuat suasana menjadi cair. Steinfeld mampu membuat sosok Kate tampil memikat dengan karakter siapa saja, termasuk sang ibu serta tentu saja, Yelena. Film ini bagi saya adalah tentang Kate yang rasanya kelak bakal mengambil peran penting dalam cerita Avengers.

Untuk standar MCU, kisahnya kurang menggigit dengan final antiklimaks, Hawkeye tertolong oleh penampilan memikat Hailey Steinfeld serta tone filmnya yang ringan mengambil momen liburan natal. Dengan segala pencapaian cerita seri sebelumnya yang berkualitas tinggi, macam WandaVision, Loki, hingga What If…?, Hawkeye bisa dibilang penurunan kualitas tapi tentu tidak bagi yang menginginkan sebuah tontonan ringan untuk liburan akhir tahun ini. Kisah MCU bergerak semakin melebar melalui Hawkeye serta pula Shang-Chi, Eternals dan Spider-Man: No Way Home baru lalu. Gelagat penurunan cerita MCU mulai terlihat. Kita lihat saja bagaimana berikutnya. Toh, apa pun itu, mereka sudah mendapatkan apa yang mereka mau sejak sukses Iron-Man hingga Endgame, dan ini adalah sebuah pencapaian super istimewa bagi medium film. Kalau boleh dibilang, sukses setelah ini hanyalah bonus.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Matrix Resurrections
Artikel BerikutnyaThe King’s Man
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.