Varian subgenre vampir memang tak pernah surut diproduksi. Abigail adalah film horor vampir besutan duo sineas Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett. Film ini dibintangi beberapa nama tenar, Alisha Weir, Melissa Barrera, Dan Stevens, Kathryn Newton, Will Catlett, Kevin Durand, Angus Cloud, dan Giancarlo Esposito. Film ber-setting terbatas ini berdurasi 109 menit dengan bujet sebesar USD 28 juta. Mampukah pencapaian Abigail menambah sesuatu bagi subgenrenya?

Enam orang kriminal menculik Abigail (Weir), putri dari seorang gangster berpengaruh di New York. Mereka adalah Joey (Barrera), Frank (Stevens), Rickels (Catlett), Sammy (Newton), Peter (Durand), dan Dean (Cloud). Sesuai perintah, mereka membawa Abigail ke sebuah rumah tua besar yang terpencil, dan di sana mereka harus menunggu hingga pagi harinya. Namun siapa sangka, semua ini hanyalah satu jebakan besar. Sang gadis kecil yang mereka culik rupanya adalah seorang vampir yang ganas.

Premisnya demikian menarik, didukung oleh setting rumah tua besar untuk memperkuat atmosfir horornya. Alur plotnya dibangun demikian intens, tidak hingga kekonyolan aksi dari para tokohnya muncul. Ini bukan problem para pemain dan mereka secara individu telah bermain sangat baik melalui karakter-karakter unik yang mereka perankan. Inti plotnya adalah “cat & mouse” di mana sang predator memburu dan bermain-main dengan mangsanya. Ini bukan hal baru bagi genrenya.

Sang vampir cilik adalah sosok superior yang memiliki kekuatan fisik yang jauh di atas rata-rata manusia dan ia kini berada di sarangnya. Dalam banyak adegannya diperlihatkan bahwa Abigail bukan lawan sepadan bagi mereka. Namun mengapa, ketika ada kesempatan untuk membunuhnya justru tidak mereka lakukan? Apakah dengan monster berkeliaran bebas seperti itu, kamu masih berpikir untuk bisa berkeliling di sekitar rumah? Hal-hal kecil semacam ini, bagi saya sama saja membunuh plotnya. Banyak hal amat dipaksakan untuk sekadar membuat kejutan-kejutan cerita yang sesungguhnya tak lagi mengejutkan. Ketika satu bidang dinding (kayu) dihancurkan Joey untuk bisa memasukkan sinar matahari ke dalam ruangan yang ini jelas-jelas bisa membunuh sang monster. Mengapa aksi ini tidak dilanjutkan, dan mestinya di sisi seberang sana tentunya mengarah ke luar bangunan, bukan? Jawabnya jelas, naskahnya tidak mengijinkan semua karakter untuk bisa keluar. Titik.

Baca Juga  A Quiet Place

Abigail memiliki premis menarik dan sederetan kasting kuat yang sayangnya dirusak sendiri oleh logika kisahnya. Satu hal yang menarik, film ini banyak mengingatkan pada adegan film vampir unik, From Dusk Till Dawn, arahan Robert Rodriguez. Inti kisahnya pun mirip Abigail, walau genrenya adalah aksi komedi. “What do we know about vampire?”, dialog ini juga muncul dan responnya pun mirip. Adegan menghancurkan dinding kayu pun juga sama. Entah apa ada relasi khusus film ini dengan Abigail, masih tak jelas. Beberapa tahun lalu, Universal telah gagal membangun semesta sinematik monster-monster ikonik mereka, melalui The Mummy (2017). Apakah film ini merupakan usaha studio Universal untuk meng-update film-film monster mereka agar lebih mudah beradaptasi dengan penonton masa kini? Kita tunggu saja.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
50 %
Artikel SebelumnyaTotto-chan: The Little Girl at the Window
Artikel BerikutnyaNew Release: Memahami Film: Pengantar Naratif!
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.