Tiga tahun berselang pasca-Aku Tahu Kapan Kamu Mati (2020), sekuelnya hadir melalui arahan Anggy Umbara dengan judul Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri. Skenarionya dikerjakan oleh penulis baru, Laila Nur Azizah. Ceritanya masih mengadaptasi novel horor yang sama dengan film sebelumnya. Begitu pula masih di bawah produksi Unlimited Productions, tetapi kali ini bersama Umbara Brothers Film. Para pemainnya yaitu Natasha Wilona, Acha Septriasa, Giulio Parengkuan, Ratu Felisha, Jajang C. Noer, Pritt Timothy, dan Marsha Aruan. Masihkah sekuelnya melakukan kesalahan-kesalahan serupa film sebelumnya?
Siena (Wilona) yang hingga sudah duduk di bangku kuliah kini, masihlah sering menyaksikan kapan kematian orang lain. Namun, ia tampak tertekan dalam hari-harinya bersama kelebihan itu sampai-sampai harus berobat dan secara rutin berkonsultasi dengan Naya (Acha), dosen psikologi di kampus. Suatu ketika, kematian tiba-tiba seorang asing di kampus memaksa Naya harus diam-diam pulang ke kampung halamannya di Desa Remetuk. Setelah Siena mendapat “penglihatan” buruk akan nasib Naya, ia buru-buru menyusulnya. Dua sahabat Siena, Rio (Giulio) dan Windy (Marsha) juga ikut serta. Namun, yang mereka bertiga temukan saat tiba di desa ternyata adalah bahaya.
Letak Desa Bunuh Diri sebagai sekuel nyatanya tak memiliki tawaran lebih baik ketimbang film sebelumnya, kecuali soal eskalasi teror dan tekanan psikologis terhadap protagonis. Spesifik mengenai desa terkutuk, desa berhantu, desa dengan pesugihan, bersekutu, atau membuat perjanjian dengan setan atau iblis saja, sudah ada Perempuan Tanah Jahanam (2019), Lampor: Keranda Terbang (2019), Makmum 2 (2021), Qodrat (2022), dan masih banyak lagi lainnya. Kerap kali akar masalahnya juga sama, desa tersebut kurang makmur atau lahan pertaniannya tidak subur. Belum lagi tentang seorang “berkemampuan” dengan semacam misi agar memanfaatkan kelebihan tersebut untuk menolong orang lain, yang sudah sejak lama dilanggengkan lewat adaptasi novel horor lainnya menjadi semesta Danur.
Desa Bunuh Diri juga masih saja mengulang keteledoran film sebelumnya, saat sama sekali tidak memunculkan keluarga sang tokoh utama. Seakan Siena adalah pelajar atau mahasiswa sebatang kara tanpa keluarga, dan sehari-hari lebih dekat dengan teman-temannya. Walau sepelik, rumit, dan frustasi apa pun masalah yang tengah dihadapinya. Desa Bunuh Diri adalah sajian suka-suka Laila dan Anggy Umbara –sutradara yang memang gemar seenaknya dalam berkarya—pada akhirnya, dengan serentetan adegan berdarah-darah. Walau levelnya tidak sebrutal garapan Kimo Stamboel, dan trik-trik adegan berdarah serta kematian orang-orangnya juga monoton. Hanyalah sayatan, menggorok leher, gantung diri, dan tusukan dengan pisau atau benda tajam lainnya ke leher atau perut.
Desa terkutuk atau berhantu pun pasti lekat dengan teror-teror. Kesempatan untuk menciptakan suasana dan kesan yang lebih mencekam. Semestinya demikian. Namun, Desa Bunuh Diri kehilangan beberapa sensasinya gara-gara karakter para tokohnya. Penokohan dalam Desa Bunuh Diri, terutama pada Siena merusak potensi menarik cerita, karena kurangnya pertimbangan inteligensi. Lagi-lagi. Seperti dalam film sebelumnya, khususnya Siena –yang notabene ialah sang pemilik kemampuan—masih saja tidak menggunakan inteligensinya untuk melakukan penyelidikan terkait kasus-kasus kematian yang berhubungan dengan kemampuannya. Apakah penokohan Siena memang tidak menyertakan pula semacam kepekaan, kecerdasan, insting, atau kesadaran untuk mengulik kemampuannya sendiri?
Sebagai sekuel pula, Desa Bunuh Diri tidak sinkron dengan ending film pertamanya. Dikisahkan dalam film sebelumnya, Siena akhirnya mulai berdamai dengan kemampuan atau kelebihannya. Namun, dalam Desa Bunuh Diri ternyata Siena masih saja bermasalah dengan “penglihatan” tersebut. Bahkan sampai harus minum obat-obatan berdasarkan resep dari psikiater. Kedua sahabatnya di SMA juga tak keruan ada di mana. Olah peran Wilona sebetulnya tak bermasalah, tidak pula berkekurangan. Hanya saja, ia sering mendapat peran dengan karakterisasi yang penuh celah. Acapkali –dalam kasus film ini—tidak menunjukkan cara-cara yang cerdas dalam menangani atau merespons kelebihannya sendiri. Orang-orang di sekelilingnya pun demikian. Pula, apa fungsi adanya karakter bernama Windy terhadap Siena? Ia justru lebih sering menambah masalah, alih-alih berperan sebagai sahabat.
Sudah berjalan dengan banyaknya kekecewaan, Desa Bunuh Diri malah diakhiri dengan lebih buruk lagi dengan ketiadaan solusi. Upaya para tokoh dalam menyelesaikan masalah sejak film bermula menjadi sia-sia. Pilihan penutup cerita yang “terburuk” di antara film-film horor rilisan tahun ini. Adanya para pemeran yang bertalenta seperti Acha, Giulio, dan Ratu Felisha pun sia-sia. Kehadiran Jajang C. Noer yang senior juga percuma. Toh dari awal, skenarionya sudah cacat. Upaya-upaya untuk menyampaikan pesan moral seperti yang dilakukan film sebelumnya jadi hampa pula pada akhirnya gara-gara itu.
Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri hanyalah sajian teror asal-asalan dan kematian membabi buta belaka, tanpa sedikit saja menunjukkan inteligensi para tokohnya. Minimal dari sang protagonis sendiri agar setidaknya punya insting untuk lebih peka dalam merespons kelebihannya sebaik mungkin. Bukannya malah kebingungan sendiri. Lebih tidak masuk akal, karena Siena ditunjukkan telah mulai beradaptasi cukup baik dengan kondisinya dalam film pertama. Satu-satunya kenikmatan tertinggi Desa Bunuh Diri adalah penampilan mengerikan sang hantu yang menebar teror sebagai arwah pembalas dendam.