Mengejar ibu yang telah lama pergi hingga ke New York. Film berjudul Ali & Ratu-Ratu Queens yang disutradarai oleh Lucky Kuswandi ini kembali menunjukkan kemampuan penulisan skenario seorang Gina S. Noer, dibantu oleh Muhammad Zaidy. Dengan perpaduan genre drama komedi dan roman keluarga, film ini diproduksi oleh duet Palari Films dan Phoenix Films (Aruna & Lidahnya dan Posesif) bekerja sama dengan dua nama baru KUY Entertainment dan C47 Investment, serta didistribusikan melalui Netflix. Para pemerannya sendiri tidaklah asing untuk genrenya, mulai dari Iqbaal Ramadhan, Nirina Zubir, Tika Panggabean, Asri Welas, Happy Salma, Aurora Ribero, Marissa Anita, dan Ibnu Jamil.

Sepeninggalan sang ayah, Hasan (Ibnu Jamil), Ali (Iqbaal Ramadhan) menemukan tumpukan peninggalan dari ibunya, Mia (Marissa Anita) yang telah belasan tahun meninggalkan mereka berdua ke New York. Bermodal itu, Ali pun memutuskan untuk menyusul sang ibu ke Kota Megalopolitan tersebut, demi mencari keberadaannya di sana dan menjemputnya pulang. Namun, New York bukanlah kota yang murah untuk ditinggali. Fakta ini tergambar jelas di hadapan Ali saat dirinya bertemu dengan geng tante-tante Queens yang terdiri atas Party (Nirina Zubir), Ance (Tika Panggabean), Biyah (Asri Welas), dan Chinta (Happy Salma). Tak cuma itu, angan-angan Ali untuk bisa langsung menjumpai ibunya saat tiba di alamat yang dituju, rupanya tidaklah terwujud dengan mudahnya.

Kerja bagus untuk Iqbaal Ramadan melalui Ali & Ratu-Ratu Queens karena sudah tampak bisa melepaskan diri dari image peran populernya dalam trilogi Dilan. Ia memperlihatkan sosok yang baru melalui peran beserta karakteristiknya dalam film ini. Setiap segmen yang memosisikannya harus beradu akting dengan orang-orang berkarakteristik beda pun cukup baik dibawakan olehnya. Momen roman, komedi, pula dramanya.

Porsi Aurora Ribero sebagai Eva, putri tunggal Ance memang tidak banyak. Namun keberadaannya sendiri bukanlah tidak penting. Kemunculannya yang selalu tepat merupakan langkah terbaik, untuk menjadikan sosoknya juga krusial bagi perkembangan karakter sang tokoh utama. Keberhasilan ini rasanya buah kualitas dari seorang Gina S. Noer. Meski tak menampik pula adanya nama Muhammad Zaidy, produser Aruna & Lidahnya dan Posesif, boleh jadi turut memberi sumbangsih terhadap kekuatan skenarionya. Walau memang perlu digarisbawahi pula, bahwa solusi akhir dari film ini akan mengingatkan kembali pada Dua Garis Biru, yang bermain aman dengan jalan keluarnya.

Baca Juga  The Conductors, Musik sebagai Pemersatu Bangsa

Tadinya, keberadaan orang-orang yang telah biasa dijumpai dalam film-film komedi cukup menimbulkan kekhawatiran. Ditambah lagi adanya segmen roman remaja di sana. Bagaimana bila elemen drama yang menjadi poros Ali & Ratu-Ratu Queens tidak maksimal karena terusik oleh komedinya? Bagaimana kalau segmen roman remajanya justru menggeser kedalaman drama keluarganya? Tetapi rupanya kedua hal ini adalah kekhawatiran yang tidak perlu. Nyatanya, semua berjalan sesuai porsi yang pas.

Visual Ali & Ratu-Ratu Queens pun patut dipuji, dengan memasukkan elemen-elemen yang ‘bermasalah’ dan ‘berantakan’ pula di dalamnya. Mengingat sebagaimana kebanyakan film yang selama ini diketahui menggunakan setting luar negeri, umumnya didominasi oleh gambar-gambar indah dengan pemakaian artistik yang tertata rapi. Dalam Ali & Ratu-Ratu Queens, visual cantik dari setiap sudut latar luar negeri tidak akan banyak dijumpai, baik berupa lanskap perkotaan maupun sudut-sudut sempitnya. Lagipula, pernahkah terbayang meletakkan adegan pertengkaran ibu-anak di sebuah gang pembuangan sampah? Itu baru salah satu dari sejumlah pemilihan setting yang baik dalam film ini.

Isu yang diangkat dalam Ali & Ratu-Ratu Queens mungkin sudah umum, namun eksekusinya bagus. Baik pengolahan naratifnya yang rapi, maupun pengemasan sinematik yang sesuai porsinya mendukung dengan baik kebutuhan dari aspek naratif. Sayang sekali hal-hal semacam ini belumlah kerap terjadi dalam film-film lain, terutama yang ditulis oleh Gina S. Noer.

Bagaimanapun, Ali & Ratu-Ratu Queens merupakan kisah Ali dengan perkembangan karakternya dan geng tante-tante Queens yang survive di New York, dalam porsi yang pas di beragam lini. Sensasi kehangatan momen keluarganya barangkali 11-12 dengan Yang Tak Tergantikan, namun dengan konflik yang lebih berat. Meski pada akhirnya harus sama-sama memaklumi solusi yang dipilih untuk mengakhiri filmnya dengan satu kata, realistis. Dan Gina S. Noer dengan skenarionya memang tidak ada obatnya.

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaFFWI: Apresiasi Wartawan untuk Perfilman Tanah Air
Artikel BerikutnyaSettlers
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.