Arctic (2018)
98 min|Adventure, Drama|31 Jan 2019
6.8Rating: 6.8 / 10 from 59,742 usersMetascore: 71
A man stranded in the Arctic after a plane crash must decide whether to remain in the relative safety of his makeshift camp or to embark on a deadly trek through the unknown.

Seorang pria tampak mengais-ngais salju dan mencungkil bebatuan dengan sekopnya. Semua susah payah tersebut hanya untuk membuat tanda “SOS” raksasa di tengah padang salju yang maha luas. Ia lantas mengecek alat pancing buatannya, apakah kailnya mendapatkan tangkapan. Setelahnya, ia lalu menjenguk makam rekannya dengan tumpukan batu khas yang ia susun, sebelum kembali ke bangkai pesawat untuk makan siang, menandai peta, lalu pergi ke atas bukit untuk menyalakan sebuah alat sinyal secara manual dengan memutar tuasnya. Ini adalah keseharian seorang pria (Mads Mikkelsen) yang selamat dari kecelakaan pesawat yang terjadi beberapa minggu (atau bulan) sebelumnya di satu wilayah terpencil di Arktika (Kutub Utara).

Genre bencana – survival jelas bukan satu hal yang baru, dan bersama variannya bisa jadi jumlahnya sudah ratusan. Film survival yang dianggap baik oleh pengamat, seperti Cast Away, Everest, The Grey, All is Lost, hingga kombinasi genre lainnya, macam Martian, Gravity, Life of Pi, hingga The Revenant. Nyaris semua variannya ada dan rasanya sulit untuk mencari sesuatu yang sama sekali baru. Namun, Arctic, arahan Joe Penna bersama sang pemain kawakan Mads Mikkelsen, rupanya mampu mencari sesuatu yang berbeda dari satu celah sempit yang ada. Walau tak bisa dianggap yang terbaik, seperti Touching the Void, namun Arctic memiliki kekuatannya sendiri dibanding film-film sejenisnya.

Tak seperti film sejenis yang lazimnya bermula dari jauh sebelum bencana terjadi, Arctic justru terjadi jauh setelah bencana terjadi. Kita tidak tahu apa yang terjadi bagaimana sang pria bisa ada di sana, siapa dia (profesi), untuk apa dia di sana, bagaimana bencana bisa terjadi, dan seterusnya. semua serba tak jelas. Kita hanya tahu, dia cerdas serta punya kemampuan untuk bertahan hidup yang baik dengan alat seadanya, tak buta navigasi dan bisa menggunakan peralatannya, trampil dengan alat tukang, dan tahu sedikit P3K. Kita juga tahu persis, dia tak terluka saat kecelakaan yang menewaskan rekannya. Rutinitas keseharian sang pria di tengah padang salju yang ganas tergambar dengan sangat baik dalam pembuka filmnya.

Baca Juga  Heilstatten Haunted Hospital

Semuanya berubah ketika satu bencana lainnya datang, dan ini sama sekali tak bisa saya antisipasi sebelumnya (beruntung, saya belum pernah melihat trailer film ini). Saya sempat berpikir, film ini hanya bertokohkan sang pria seorang, ternyata keliru. Arah cerita menjadi sama sekali berbeda dan setelah ini kejutan demi kejutan selalu datang di waktu yang salah. Ending pun, walau banyak mengingatkan All is Lost, disuguhkan amat berkelas, dan penonton seisi bioskop pun hanya bisa bersuara “aaahhh” ketika shot penutup akhirnya muncul. Semua ini, jelas tak ada artinya tanpa penampilan akting yang sangat mengesankan dari Mads Mikkelsen. Aktor kawakan ini seperti bisa bermain apa saja dan peran apapun dengan sama baiknya. Konon syuting filmnya berlangsung selama 19 hari dan sang aktor pun menganggap ini adalah pengalaman produksi terberatnya.

Dengan penampilan Mad Mikkelsen yang memukau serta timing plot yang di luar kebiasaan, plot film ini terasa personal dan memiliki kedalaman pesan lebih dari yang kita pikir. Personal? Kedalaman pesan? Bukankah bertahan hidup serta semangat tak pantang menyerah adalah jelas tema dan pesannya. Aah tidak hanya ini. Film dokudrama (kisah nyata) bisa secara gamblang memiliki pesan ini, namun film fiksi non biografi ini rasanya ingin berbicara lebih. Film ini memang masih bicara soal hidup. Semua orang yang berusaha keras untuk mencari “sesuap nasi” untuk semata bertahan hidup, bisa jadi lebih menghargai film ini. Selalu ada orang yang lebih susah dari kita. Bantu jika kita mampu, jika mengabaikannya kita akan kena batunya. Tak kenal menyerah dan selalu berserah diri. Film ini terasa sekali sangat personal dan bisa jadi adalah wujud pengalaman sang sineas sendiri dalam satu momen hidupnya. Who knows?

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaMy Stupid Boss 2
Artikel BerikutnyaMatiAnak
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.