Seorang pria tampak mengais-ngais salju dan mencungkil bebatuan dengan sekopnya. Semua susah payah tersebut hanya untuk membuat tanda “SOS” raksasa di tengah padang salju yang maha luas. Ia lantas mengecek alat pancing buatannya, apakah kailnya mendapatkan tangkapan. Setelahnya, ia lalu menjenguk makam rekannya dengan tumpukan batu khas yang ia susun, sebelum kembali ke bangkai pesawat untuk makan siang, menandai peta, lalu pergi ke atas bukit untuk menyalakan sebuah alat sinyal secara manual dengan memutar tuasnya. Ini adalah keseharian seorang pria (Mads Mikkelsen) yang selamat dari kecelakaan pesawat yang terjadi beberapa minggu (atau bulan) sebelumnya di satu wilayah terpencil di Arktika (Kutub Utara).
Genre bencana – survival jelas bukan satu hal yang baru, dan bersama variannya bisa jadi jumlahnya sudah ratusan. Film survival yang dianggap baik oleh pengamat, seperti Cast Away, Everest, The Grey, All is Lost, hingga kombinasi genre lainnya, macam Martian, Gravity, Life of Pi, hingga The Revenant. Nyaris semua variannya ada dan rasanya sulit untuk mencari sesuatu yang sama sekali baru. Namun, Arctic, arahan Joe Penna bersama sang pemain kawakan Mads Mikkelsen, rupanya mampu mencari sesuatu yang berbeda dari satu celah sempit yang ada. Walau tak bisa dianggap yang terbaik, seperti Touching the Void, namun Arctic memiliki kekuatannya sendiri dibanding film-film sejenisnya.
Tak seperti film sejenis yang lazimnya bermula dari jauh sebelum bencana terjadi, Arctic justru terjadi jauh setelah bencana terjadi. Kita tidak tahu apa yang terjadi bagaimana sang pria bisa ada di sana, siapa dia (profesi), untuk apa dia di sana, bagaimana bencana bisa terjadi, dan seterusnya. semua serba tak jelas. Kita hanya tahu, dia cerdas serta punya kemampuan untuk bertahan hidup yang baik dengan alat seadanya, tak buta navigasi dan bisa menggunakan peralatannya, trampil dengan alat tukang, dan tahu sedikit P3K. Kita juga tahu persis, dia tak terluka saat kecelakaan yang menewaskan rekannya. Rutinitas keseharian sang pria di tengah padang salju yang ganas tergambar dengan sangat baik dalam pembuka filmnya.
Semuanya berubah ketika satu bencana lainnya datang, dan ini sama sekali tak bisa saya antisipasi sebelumnya (beruntung, saya belum pernah melihat trailer film ini). Saya sempat berpikir, film ini hanya bertokohkan sang pria seorang, ternyata keliru. Arah cerita menjadi sama sekali berbeda dan setelah ini kejutan demi kejutan selalu datang di waktu yang salah. Ending pun, walau banyak mengingatkan All is Lost, disuguhkan amat berkelas, dan penonton seisi bioskop pun hanya bisa bersuara “aaahhh” ketika shot penutup akhirnya muncul. Semua ini, jelas tak ada artinya tanpa penampilan akting yang sangat mengesankan dari Mads Mikkelsen. Aktor kawakan ini seperti bisa bermain apa saja dan peran apapun dengan sama baiknya. Konon syuting filmnya berlangsung selama 19 hari dan sang aktor pun menganggap ini adalah pengalaman produksi terberatnya.
Dengan penampilan Mad Mikkelsen yang memukau serta timing plot yang di luar kebiasaan, plot film ini terasa personal dan memiliki kedalaman pesan lebih dari yang kita pikir. Personal? Kedalaman pesan? Bukankah bertahan hidup serta semangat tak pantang menyerah adalah jelas tema dan pesannya. Aah tidak hanya ini. Film dokudrama (kisah nyata) bisa secara gamblang memiliki pesan ini, namun film fiksi non biografi ini rasanya ingin berbicara lebih. Film ini memang masih bicara soal hidup. Semua orang yang berusaha keras untuk mencari “sesuap nasi” untuk semata bertahan hidup, bisa jadi lebih menghargai film ini. Selalu ada orang yang lebih susah dari kita. Bantu jika kita mampu, jika mengabaikannya kita akan kena batunya. Tak kenal menyerah dan selalu berserah diri. Film ini terasa sekali sangat personal dan bisa jadi adalah wujud pengalaman sang sineas sendiri dalam satu momen hidupnya. Who knows?
WATCH TRAILER