Haunted Hospital (2018)
89 min|Horror, Mystery, Thriller|22 Feb 2018
4.2Rating: 4.2 / 10 from 2,134 usersMetascore: N/A
In HEILSTÄTTEN, a remote, gloomy sanctuary near Berlin, a group of YouTubers illegally access the ominous surgery block for a 24-hour challenge they hope will go viral. They learn too soon that they are not alone and not welcome.

Jika di Korea Selatan memiliki rumah sakit jiwa Gonjiam yang menjadi salah satu tempat terangker di dunia versi CNN World, di Jerman memiliki rumah sakit angker bernama Heilstatten Hospital. Sanatorium di dekat Kota Berlin ini merupakan rumah sakit khusus penderita TBC (Tuberkolusis) pada masa perang dunia II. Di masa itu pula, konon rumah sakit ini digunakan sebagai tempat eksperimen mengerikan pada manusia. Bangunan yang kini terbengkalai cukup lama ini mempunyai banyak rumor yang menyelimutinya karena banyaknya aktivitas paranormal yang terjadi di lokasi tersebut.

Film Jerman ini disutradarai oleh Michael David Pate yang juga telah beberapa kali menyutradarai film horor, yakni Gefällt mir (2014) dan Potato Salad (2015). Heilstatten rilis perdana di Jerman pada 22 Februari 2018. Pada waktu hampir bersamaan pula secara kebetulan di Korea Selatan, dirilis pula sebuah film dengan plot dan gaya serupa, yakni Gonjiam: Haunted Asylum. Gonjiam: Haunted Asylum terlebih dahulu rilis di bioskop tanah air pada bulan Mei 2018 lalu.

Film ini bercerita tentang sekelompok Youtuber yang melakukan uji nyali selama 24 jam di rumah sakit ini secara ilegal. Mereka berharap, video tantangan ini nantinya bisa menjadi tontonan laris dan viral di media sosial. Walaupun telah diperingatkan oleh satu seorang rekan mereka yang sensitif terhadap hal-hal gaib, namun mereka semua tetap nekat melakukan uji nyali tersebut. Menjelang malam tiba tantangan pun dimulai dan mereka mengalami banyak kejadian aneh yang menteror mereka.

Baca Juga  Rising Wolf

Tentu sudah banyak film dengan cerita horor yang dikemas dengan gaya found footage macam ini dan film ini juga tak berbeda banyak dengan lainmus. Background cerita yang dijelaskan tentang sejarah rumah sakit ini di masa Perang Dunia II, telah mampu memberikan tone horor dan meneror penonton. Namun, plot selanjutnya memiliki tempo yang cepat, lantaran teror yang bertubi-tubi sehingga penonton kurang bisa masuk ke dalam nuansa misteri pada bangunan tersebut.

Jika dibandingkan Gonjiam Haunted Asylum, Heilstatten memiliki beberapa perbedaan dalam pengadeganan film.  Walaupun keduanya memiliki alur plot dan gaya pengemasaan yang hampir  sama, namun keduanya memiliki intensitas ketegangan yang berbeda. Gonjiam jelas terlihat lebih menakutkan ketimbang film ini. Gonjiam memanfaatkan ruang demi ruang untuk membangun struktur naratifnya sehingga mampu membawa masuk penonton ke dalam sisi misterinya. Sedangkan Heilstatten kurang begitu tampak. Dalam klimaks Gonjiam yang menempatkan kamar 402 sebagai teror klimaks mampu terbangun betul dalam pikiran penonton. Namun, dalam Heilstatten yang juga membangun rumor melalui “pasien no. 106” kurang begitu terbangun dengan baik karena alur plot yang cepat.

Tak jauh beda dengan Gonjiam, setting lokasi dan properti dalam film ini telah terbangun dengan baik. Lokasi bangunan yang jauh di luar kota, tentu mampu membawa kita ke lokasi di tengah hutan yang penuh misteri. Heilstatten jelas memiliki karakter bangunan yang berbeda dengan Gonjiam. Jika dalam Gonjiam hanya ada satu bangunan gedung, sementara Heilstatten terdapat dalam beberapa bangunan gedung. Dengan banyaknya ruang, sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mendukung cerita horornya, namun sayang sekali kurang dieksplor lebih jauh.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaFinal Score
Artikel BerikutnyaAlong with the Gods Series: Bicara Soal Alam Akhirat dan Manusia
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.