asteroid city

Belum lama ini nama Wes Anderson banyak berkeliaran di salah satu platform media sosial. Di sana, masyarakat luas mulai mengenalnya lebih dekat dan tak pelak, mulai mengikuti format estetika sinemanya ke dalam hasil-hasil video amatiran berdurasi 15-20 detik. Pendekatan Wes yang stabil dan terbilang lebih sederhana memang pas buat dikutip para amatiran ke dalam platform media kecil seperti yang kita tahu. Dan seiring tren namanya itu, ternyata Wes juga telah menyiapkan film terbarunya yang kemudian dirilis untuk pertama kalinya di Cannes sebelum sampai ke khalayak luas.

Adalah Asteroid City, film terbaru Wes Anderson, selang kurang lebih 2 tahun dari The French Dispatch. Asteroid City tayang perdana di Festival Cannes 2023 pada tanggal 23 Mei kemarin, ikut memperebutkan Palme d’Or namun tak keluar sebagai pemenang. Pada 16 Juni 2023 film ini diputar secara terbatas di New York dan LA, sebelum akhirnya ditayangkan secara luas pada tanggal 23 Juni 2023 kemarin.

Asteroid City sebagaimana film-film Wes sebelumnya, diperankan oleh aktor-aktor langganannya seperti Jason Schwartzman, Edward Norton, Adrien Brody, Tony Revolori, Tilda Swinton, sampai dengan aktor-aktor barunya yang papan atas seperti Maya Hawke, Scarlett Johanson, Tom Hanks, Bryan Cranston, Steve Carrol, dan masih banyak lagi. Skenario Asteroid City ditulis langsung oleh Wes Anderson.

Ceritanya sendiri merupakan kisah berbingkai di mana ada seorang penulis skrip teater bernama Conrad Earp yang berupaya menghadirkan banyak dramawan untuk kemudian menjalankan kisah yang ia tulis ke dalam bentuk teatrikal. Schubert Green ialah yang menyutradarai teater tersebut. Teatrikal itu berlatar di sebuah kawasan bernama Asteroid City. Augie Steenbeck, seorang jurnalis foto perang masuk lebih awal bersama 4 anak-anaknya dan mendapati kendaraannya mogok, disusul aktris komedi terkenal, sekumpulan band western, remaja-remaja penerima penghargaan saintifik yang didampingi orang tuanya, dan guru sekolah bersama murid-muridnya yang bervakansi akhir pekan.

Kedatangan mereka ke Asteroid City bertepatan pada hari ulang tahun kota bergurun debu itu. Di sana mereka disambut oleh seorang jenderal bintang lima dan sejajaran ilmuwan astronomi. Para remaja mempresentasikan penemuan-penemuan gemilangnya demi memperebutkan penghargaan yang dibuka pemerintah daerah setempat, sebelum akhirnya berlabuh pada acara puncak di mana mereka disuguhkan tontonan yang menawan, sebuah pecahan asteroid. Namun pesawat UFO datang dan mengambil pecahan asteroid tersebut. Alhasil, presiden memerintahkan agar kota ditempatkan di bawah karantina militer.

Baca Juga  Black Crab

Asteroid City bermain-main dalam skala rasio yang inkonsisten. Babak monokrom dengan rasio 4:3 adalah babak pencerita. Sementara babak retro futuristik dengan widescreen yang simetrikal adalah babak yang diceritakan. Relasi ini membentuk kesatuan cerita yang padu dan tentunya, kaya. Tak ada yang begini sebelumnya. Mutasi atau perputaran rasio dan warna kadang kala dimanfaatkan Wes sebagai variasi teknik, bukan simbolik dan tanda. Ini menjadikan Asteroid City mudah dikenali ketika menayangkan fase-fasenya yang berbeda. Di samping itu pada saat yang sama, kita mendapatkan gambar yang tak kurang menyenangkannya dengan The Grand Budapest Hotel atau Moonrise Kingdom. Ia begitu cerah sekaligus sedikit suram dengan saturasinya yang tinggi di antara sisipan fade yang pula tinggi.

Asteroid City, sekalipun ia bergenre fiksi ilmiah, jelas tak bisa dibandingkan dengan fiksi-fiksi ilmiah lainnya. Sebab film-film Wes Anderson hanya bisa dikomparasikan dengan film-filmnya sendiri. Satu keuntungan memiliki keotentikan gaya. Pembandingan ini kelak menuju situasi yang tentu tak menyenangkan hati si Wes Anderson, terlepas dari segala ketertiban lakonnya yang masih sama dan tegak lurus alunan jepretannya yang masih sama, karena persis The French Dispatch yang sungguh menyiksa itu, film terbarunya ini hanyalah sekumpulan adegan yang nihil dan menimbulkan efek yang pula sama, sebuah siksaan kebosanan kolektif.

Asteroid City adalah film yang malas. Ia malas untuk membuat penonton nyaman dan mengagumi cita rasa kesegaran Andersonian. Meski sudah mencoba kekuatan politis untuk menarik cerita lebih mudah dimengerti, namun sayang, film ini menjadikan kita kerap naik ke permukaan untuk menarik nafas dan kembali menyelami siksaan kebosanan yang tak berkesudahan.

Satu-satunya kegembiraan yang pasti kita dapatkan hanyalah keluguan dan kelucuan anak-anak dalam berupaya memainkan komedi hitam, meski kita tahu itu hanya bertahan selama sekian detik saja sebelum kemudian menghadapi lagi debu-debu kejenuhan di depan sana.

PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaBird Box Barcelona
Artikel BerikutnyaOppenheimer
Azman H. Bahbereh, lahir dan besar di Singaraja, Bali. Saat ini menempuh pendidikan di Kota Malang. Kegemarannya menonton film telah tumbuh semenjak kecil ketika melihat tarian dengan iringan musik dari jagat sinema Bollywood, terkhusus Soni Soni Akhiyon Wali di film Mohabbatein. Selain menulis film-film yang ditontonnya, ia juga aktif menulis puisi dan bergiat di komunitas sastra yang ada di Kota Malang.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.