Setelah dua karya terbaiknya, Whiplash dan La La Land, Chazelle menggarap proyek besarnya Babylon dengan bujet sekitar USD 80 juta. Semua penikmat film tentu menanti dengan ekspektasi tinggi. Film ambisius ini dibintangi sederetan bintang tenar, Brad Pitt, Margot Robbie, Diego Calva, Jovan Adepo, hingga Li Jun Li.  Di luar dugaan, film ini gagal di pasar, namun masih diapresiasi tinggi dalam ajang festival-festival film bergengsi, seperti Golden Globe, Critic’s Choice Awards, BAFTA, serta Academy Awards.

Plotnya berkisah seputar beberapa tokoh fiktif pada era transisi film bisu dan film bicara pada tahun 1926 di industri film Hollywood. Manny (Calva) adalah seorang pemuda imigran yang berambisi untuk bekerja dalam industri film. Nellie (Robbie) adalah seorang gadis muda yang berambisi menjadi seorang bintang film. Jack Conrad (Pitt) adalah seorang aktor bintang era film bisu ternama yang hidup penuh glamor. Fay Zhu (Li), seperti Conrad, adalah aktris besar film bisu keturunan Asia. Lalu, Sidney Palmer (Adepo) adalah musikus berbakat berkulit hitam yang seringkali terlibat dalam produksi film bisu. Semua tokohnya bersinggungan satu sama lain dan memperlihatkan perjalanan dan perjuangan karir mereka pada era transisi yang membunuh semua sendi produksi film bisu yang dulu jaya-jayanya.

Latar kisah Babylon sudah bukan hal yang baru bagi medium film. Singin’ in the Rain (1952) garapan Gene Kelly dan The Artist (2011) arahan Michel Hazanavicius, keduanya menyajikan problema industri pada era transisi ini. Dengan cara berkelas, kedua film ini menyajikan kisah drama roman yang menghibur, menggugah, dan sinematik. Lalu Babylon? Poinnya kurang lebih sama, namun naskah Babylon lebih dominan menyajikan gaya hidup (hedonisme) para tokohnya dalam gelimang harta dan glamor, yang menurut hemat saya tak perlu. What’s the point? Satu adegan heboh yang sangat “menjijikan” pada segmen opening sudah lebih dari cukup. Film ini hanya terasa seperti fragmen-fragmen terputus yang tidak berkesinambungan.

Usaha semua karakter untuk bisa lepas dari situasi sulit ini adalah satu hal yang mestinya bisa dieksplorasi lebih dalam. Justru poin ini terasa hanya diselipkan dalam momen-momen “spektakuler’nya. Alhasil, kita tak pernah bisa berempati dan bersimpati penuh pada semua tokohnya. Nyaris tak ada yang membekas dalam durasi lebih dari tiga jam ini selain hanya aksi polah konyol para tokoh-tokohnya. Inti dari kisah yang melelahkan ini terangkum singkat dalam satu momen ketika Conrad berdialog dengan sang jurnalis, Elinor. “Masamu telah lewat”. Akhirnya, sebuah ending “sinematik” yang diharapkan menggugah pun, hanya lewat begitu saja tanpa ada momen dramatik di sana.

Baca Juga  Wrath of Becky

Di luar naskahnya yang mengecewakan, secara estetik sang sineas masih mampu menggunakan gaya estetiknya yang khas, seperti kamera dan editing dinamis, dan tentu saja musik. Teknik montage yang mendominasi film ini, seluruhnya disajikan menawan, walau ritmik editing yang menjadi andalan sang sineas tak lagi terasa dominan. Seperti halnya Singin in the Rain’, satu adegan produksi film bicara disajikan dengan sangat baik menggambarkan bagaimana frustasinya para pemain dan pembuat film selama prosesnya yang harus diulang berulang kali. Untuk urusan teknis, film ini nyaris tak ada cacatnya, sejak awal hingga penutup.

Dengan segala ambisi dan stempel sinematik Damien Chazelle, Babylon yang ambisius adalah sebuah tribute untuk industri film pada awal film bicara dengan cara brutal, vulgar, memaksa, dan amat melelahkan. Mungkin banyak orang memikirkan hal yang sama. Apa yang Chazelle pikirkan ketika membuat film ini? Whiplash dan La La Land memiliki kisah sederhana dan terlihat sekali passsion sang pembuat terhadap film dan musik. Babylon juga memiliki ini, namun poinnya menjadi kabur karena durasi berkepanjangan. Bagi pemerhati sejarah film, industri film bergerak dinamis menyesuaikan konteks jamannya. Teknologi kadang mampu mengubah industri film ke arah yang berbeda. Polemik digital dan seluloid, hingga platform streaming pun memiliki efek yang sama. Semua bintang dan sineas besar kelak hilang ditelan jaman dan yang menjadi pembeda hanyalah warisan karya terbaik mereka. Sayangnya, Babylon bukan salah satunya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaBuku Montase Press di Google Play Book
Artikel BerikutnyaScandal Makers
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.