Film itu bagus! Film ini tidak bermutu! Film itu sangat artistik! Kalimat-kalimat yang mungkin langsung spontan keluar dari mulut seseorang setelah melihat sebuah karya film. Tetapi bagaimana sebenarnya kita dapat menilai sebuah karya film, apa standartnya, bagaimana kriterianya, bagaimana sistem nilainya. James Monaco berpendapat bahwa untuk menilai sebuah karya seni (film) sangat tergantung dari pengalaman mental dan pengalaman budaya seseorang. Logikanya semakin banyak/tinggi pengalaman mental dan pengalaman budaya seseorang secara tidak langsung semakin tinggi pula sistem nilai atau kriteria penilaian terhadap sebuah karya seni (film). Karena pengalaman mental dan budaya tiap orang tidak sama, maka berbeda pula sistem nilai atau kriteria yang dihasilkan, sehingga pada akhirnya bisa berbeda pula penilaian tiap orang terhadap sebuah karya film. Untuk dapat memahami sebuah film kita perlu mengetahui sejauh mana pencapaian yang dapat dihasilkan dari sebuah karya film. Pencapaian yang dimaksud dapat dibagi dalam dua aspek pencapaian, yaitu: Pencapaian Tematik dan Pencapaian Estetik.

Pencapaian Tematik adalah kekuatan cerita atau tema yang dikandung dalam sebuah karya film, termasuk didalamnya latar belakang permasalahan (pendahuluan), permasalahan, penyelesaian permasalahan serta kesimpulan. Setiap aspek harus memiliki hubungan sebab akibat (koheren) yang kuat sehingga dapat saling terjalin hubungan menjadi alur cerita yang kuat/menarik. Adapun terkadang urut-urutan alur cerita bisa bisa beragam. misalnya: kesimpulan, latar belakang, permasalahan dan penyelesaian masalah, hal tersebut tidak menjadi masalah selama masih memiliki hubungan sebab akibat yang kuat. Inti dari setiap cerita film pasti memiliki tokoh sentral (protagonis) yang menjadi pemain utama yang mempunyai tujuan/cita-cita/harapan terhadap sesuatu. Konflik mulai muncul sebenarnya ketika bagaimana usaha tokoh sentral tersebut untuk mencapai tujuan/cita-cita/harapannya. Konflik terkadang diramaikan dengan adanya tokoh antagonis yang berusaha menghalangi tokoh sentral (protagonis) untuk mencapai tujuannya. Bagaimana tokoh utama berusaha menyelesaikan konflik yang ada, itu sebenarnya yang paling penting (inti) dari sebuah cerita. Setiap unsur-unsur tersebut harus dapat berkaitan satu sama lain dan dipaparkan dengan jelas sehingga membentuk alur cerita yang koheren.

Pencapaian Estetik adalah segala hal yang berhubungan dengan teknik dalam membuat film yang mempunyai unsur-unsur; mise en scene, kamera, editing dan sound. Mise en scene adalah segala sesuatu yang ada di depan kamera, seperti: setting, pemain, pakaian, pencahayaan dan sebagainya. Kamera berkaitan dengan sudut pengambilan, jauh dekat dan tinggi rendah kamera. Editing adalah kegiatan “penyatuan” segala sesuatu (scene) yang terekam oleh kamera sehingga terjalin hubungan yang berkesinambungan antar scene. Sedangkan sound berkaitan dengan segala macam suara/bunyi termasuk di dalamnya musik latar (score) atau soundtrack. Pencapaian estetis sangat terkait erat dengan komposisi bentuk, warna, kontras, keseimbangan dan sebagainya yang segalanya terekam dalam kamera. Setting sebuah ruangan atau kota yang indah, pemandangan alam sekitar dengan komposisi gambar yang seimbang, pembawaan karakter yang kuat oleh pemain, perpindahan gambar yang sesuai dengan konteks sebuah scene ataupun musik latar yang indah, seluruhnya merupakan pencapaian estetik dalam sebuah film.

Baca Juga  Avengers: Age of Ultron

Pertanyaannya sekarang, apakah pencapaian tematik dan pencapaian estetik dapat dipisahkan satu sama lain? Tentu saja hal tersebut sangat mustahil. Apalah artinya suatu tema yang luar biasa tanpa pencapaian estetik yang memadai, jika itu terjadi tema yang terkandung dalam sebuah film akan terasa hambar dan tidak akan dapat tercapai tujuannya, begitu pula sebaliknya pencapaian estetik yang tinggi menjadi sia-sia karena tema yang lemah. Memang tidak setiap pembuat film memiliki kelebihan untuk mencapai kedua pendekatan tersebut dengan sempurna, tetapi minimal sebuah karya film harus memiliki pencapaian tematik dan estetik yang memadai. Sebuah film mungkin saja tidak mempunyai tema terlalu istimewa tetapi jika memiliki pencapaian estetik yang luar biasa, film tersebut secara keseluruhan dapat terlihat menjadi sebuah karya yang istimewa, demikian pula sebaliknya. Tetapi memang harus diakui bagaimanapun juga tema merupakan hal yang paling penting dalam membuat sebuah karya film. Pilihan tema yang berkualitas/menarik/kuat yang menjadi pokok acuan sebelum membuat film. Bagaimana tema tersebut dapat diadaptasikan dengan baik dalam film sehingga tercapai pencapaian tematik dan estetik yang tinggi, sehingga sebuah film dapat dihargai sebagai karya seni yang istimewa.

Sekali lagi perlu ditekankan, penilaian tinggi rendahnya pencapaian tematik dan estetik sebuah karya film sangat tergantung dari pengalaman mental dan budaya pengamat film. Kita mungkin sekarang tidak bisa begitu saja menghakimi sebuah karya film sangat tidak bermutu sebelum kita memahaminya dengan benar dan seksama apa maksud yang ingin disampaikan oleh pembuat film. Semakin banyak kita melihat film dan mencari literatur yang berhubungan dengan film semakin menambah pengalaman dan pengetahuan kita dalam memahami sebuah karya film. Terkadang kita perlu sampai harus menonton sebuah film sampai berulang kali untuk bisa memahami dengan benar apa sebenarnya maksud yang ingin disampaikan dalam suatu film. Film pada daftar teratas film-film terbaik American Film Institute, seperti Citizen Kane dan Casablanca adalah salah satu contoh film yang mempunyai pencapaian tematik dan pencapaian estetik yang tinggi. Memang tidak banyak sebuah karya film yang mencapai kualitas tematik dan estetik yang tinggi, tetapi kita juga tidak perlu merendahkan sebuah karya film yang kita anggap buruk selama memang film tersebut dibuat dengan tujuan yang baik. Sebaiknya kita harus lebih bijak dalam memandang suatu karya film dengan mencari dan memahami aspek yang positif / menarik / istimewa dalam film yang kita tonton. Aspek / hal apa yang membuat paling berkesan setelah kita menonton sebuah karya film. Kita dapat mulai mencoba memahaminya dengan memakai dua pendekatan di atas.


Bacaan Lanjutan: KRITIK FILM: KRITERIA DAN PENILAIAN

Artikel ini ditulis bulan Maret 2003 dan artikel film pertama yang ditulis oleh penulis.

1
2
Artikel SebelumnyaPoltergeist
Artikel BerikutnyaSophie Turner, akan memerankan Jean Grey dalam Seri X-Men Terbaru
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.