Avengers: Age of Ultron (2015)
141 min|Action, Adventure, Sci-Fi|01 May 2015
7.3Rating: 7.3 / 10 from 942,428 usersMetascore: 66
When Tony Stark and Bruce Banner try to jump-start a dormant peacekeeping program called Ultron, things go horribly wrong and it's up to Earth's mightiest heroes to stop the villainous Ultron from enacting his terrible plan.

Avengers: Age of Ultron adalah seri ke-11 dari dunia sinematik superhero Marvel atau Marvel Cinematic Universe (MCU). Singkat cerita kali ini tim Avengers harus menghadapi Ultron, robot cerdas buatan Tony Stark sendiri yang ingin menghancurkan umat manusia. MCU yang dibangun Marvel Studios sejak Iron Man (2008) kali ini memasuki level yang berbeda dari sepuluh seri sebelumnya. Informasi cerita yang dibangun dari film ke film dan saling terkait kali ini memasuki wilayah yang belum pernah tersentuh dari film-film bergenre ini sebelumnya. Alhasil penonton yang belum menonton atau kurang menyimak sepuluh film sebelumnya bisa dipastikan akan kebingungan mengikuti alur cerita filmnya. Tempo cerita yang begitu cepat dengan background cerita yang sangat minim (dari film-film sebelumnya) tentu memberi kesan rumit alur cerita filmnya. Semisal saja pada opening sequence di Sokovia, karakter Baron Wolfgang von Strucker dan Maximoff Bersaudara hanya disinggung sekilas saja pada mid credit scene di Captain America 2.

Inti masalah cerita film ini sebenarnya telah muncul sejak Iron Man 3, dimana Tony Stark pasca kejadian New York (The Avengers) trauma berat sehingga menciptakan puluhan replika Iron Man yang mampu dikendalikan secara otomatis oleh Jarvis. Intinya sederhana, Tony tidak ingin pengalaman buruk tersebut terulang dan jika terjadi pun ia dan rekan-rekannya tidak perlu mati-matian melawan ribuan makhluk asing. Dengan masalah yang ia hadapi sendiri dalam Iron Man 3, kali ini Tony harus berhadapan dengan rekan-rekannya yang jelas tidak suka dengan apa yang ia lakukan sekalipun ia mendapat dukungan dari Bruce Banner. Dalam film ini Tony pun ternyata juga sudah mengantisipasi Hulk jika lepas kontrol melalui project Veronica. Toni memang tidak seratus persen salah namun kali ini tindakannya berbuah menjadi musibah ketika ciptaannya, Utron memiliki pikiran sendiri untuk menghancurkan umat manusia.

Sekalipun penokohan masing-masing karakternya sudah terbangun rapi pada sepuluh film sebelumnya namun sentuhan berbeda muncul ketika Scarlett Witch dengan kekuatannya mampu membawa para jagoan tersebut dibawa ke trauma masa lalu mereka. Jelas saja penonton yang tidak menyimak MCU akan kebingungan karena ditampilkan detil latar cerita yang berbeda dari film-film sebelumnya. Kita dibawa ke masa lalu Black Widow yang ternyata sudah dilatih menjadi pembunuh sejak ia kecil, lalu Steve Rodgers yang berhutang dansa dengan Peggy Carter, bahkan Thor dibawa ke alam lain yang memberi informasi kita untuk kelanjutan fase cerita MCU kelak (latar Infinity Stones). Ini menjadi gambaran kecil bagaimana sebuah naskah “MCU” yang dibangun terkonsep secara makro dan kompleks menjadi sebuah pencapaian yang amat detil dari sisi naratif yang belum pernah ada sebelumnya. Age of Ultron pun kembali memberikan detil informasi yang sama untuk membangun MCU untuk film-film Marvel mendatang. Ketika kita melewatkan informasi sedikit saja kita pasti melewatkan banyak hal.

Baca Juga  Chris Pine Jadi Kekasih Wonder Woman

Bicara soal pencapaian visual sudah bisa kita duga jika Age of Ultron akan jauh lebih “wah” dari film-film MCU sebelumnya. Dengan karakter superhero yang berjumlah banyak dengan variasi kekuatan yang mereka miliki plus ratusan robot dengan berbagai setting di area berbagai belahan dunia menjanjikan sebuah pertunjukan visual yang sangat luar biasa. Tercatat satu sekuen aksi terlihat begitu nyata ketika Captain America dan Black Widow beraksi melawan Ultron di jalanan kota Seoul. Aksi klimaks di Sokovia yang tampak begitu hingar bingar berpindah dari satu karakter ke karakter lain tanpa ada satu karakter pun yang dominan. Dari sisi aksi dan pencapaian visual para fans berat superhero Marvel dijamin tidak akan kecewa.

Avengers: Age of Ultron sekali lagi merupakan mahakarya Marvel Studios dari aspek manapun. Bumbu komedi yang menjadi andalan The Avengers sebelumnya sedikit berkurang karena penekanan cerita yang lebih gelap dan suram dari sebelumnya. Ultron yang serius jelas berbeda dengan karakter Loki yang banyak mengumbar omongan. James Spader dengan tone suaranya yang khas membawa sentuhan berbeda pada karakter Ultron. Sekali lagi pencapaian naskah yang brilyan memungkinkan tidak ada satu karakter pun yang dominan dan semua relatif memiliki porsi yang seimbang. Pencapaian kompleksitas cerita hanya bisa difahami benar oleh penonton yang memahami MCU. Kelemahan filmnya hanya ini. Untuk bisa memahami benar kontinuitas cerita dalam MCU bisa jadi Anda harus melihat masing-masing sepuluh film sebelum ini setidaknya dua kali. Baru setelah ini Anda bisa melihat secara utuh, keistimewaan dan terobosan Avengers: Age of Ultron yang mampu membawa genre superhero ke level yang belum pernah dicapai sebelumnya. Bukan hal mudah membangun dunia cerita demikian kompleks dan rapi seperti apa yang telah dicapai MCU sejak tujuh tahun silam.

Movie Trailer

PENILAIAN KAMI
Total
100 %
Artikel SebelumnyaFurious 7
Artikel BerikutnyaMad Max: Fury Road
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.