Warner Bros (WB) yang sejak lama tertarik memfilmkan Batman memberi kesempatan pada sineas muda berbakatnya, Tim Burton, setelah sukses Pee Wee’s Big Adventure (1985). Setelah proses penggodokan naskah dan pilihan kasting yang lama dan melelahkan akhirnya Warner Bros memberikan lampu hijau bagi Burton untuk memproduksi Batman pada tahun 1988. Michael Keaton yang dikasting sebagai Batman menuai protes dari puluhan ribu pendukung komiknya. Keaton sendiri sukses melalui Beetlejuice (1988) yang digarap juga oleh Burton. Jack Nicholson yang mendapat peran antagonis, Joker, justru mendapat sorotan utama sekalipun WB harus merogoh kocek besar untuk memastikan sang bintang bermain di film ini. Filmnya sendiri sudah over bujet dengan menghabiskan $48 juta, angka yang fantastis pada masa ini.

Batman (1989) diluar dugaan laris luar biasa dan menjadi fenomena dimana-mana dengan meraih pendapatan $411 juta di seluruh dunia. Batman mendadak menjadi ikon paling populer dan menjadi pelopor genre superhero modern setelah Superman (1978). Merchandise Batman konon terjual hingga $750 juta. Nama Burton semakin menjulang menjadi salah satu sineas papan atas Hollywood. Keaton yang sebelumnya banyak menuai protes membuktikan dirinya pantas bermain sebagai Bruce Wayne. Visi estetik Burton begitu kental khususnya sentuhan artistiknya yang khas dari setting, kostum, hingga batmobile. Ditambah ilustrasi musik garapan Danny Elfman semakin mendukung karakter dan kisah secara keseluruhan. Namun Batman tidak luput dari kritik karena tone-nya yang gelap dan kurang pantas ditonton anak-anak. Karakter Joker juga dinilai terlalu dominan ketimbang Batman/Bruce Wayne.

Sukses Batman, membuat WB begitu menggebu-gebu untuk menggarap sekuelnya dan berharap Burton kembali duduk di bangku sutradara. Sementara sang sineas sendiri tidak terlalu tertarik dan malah memilih menggarap Edward Scissorhand untuk Fox. Akhirnya WB mampu menarik kembali Burton dengan syarat ia diberi kewenangan penuh untuk mengontrol sisi kreatifnya. Keaton bermain kembali sebagai Batman, sementara dua bintang top, Michelle Pfeiffer dan Danny DeVito bermain sebagai tokoh antagonis, Catwoman dan Penguin. Sementara filmnya sendiri memakan bujet $80 juta dan menjadi film yang paling dinanti jutaan penonton.

Baca Juga  Antara Bioskop dan Rating Film

Batman Returns (1992) kembali memperlihatkan superioritas dalam aspek rancangan artistiknya dengan tema dan kisah yang lebih gelap dari sebelumnya. Burton dengan keleluasaan kontrol artistiknya menghasilkan sebuah karya yang memang unik namun pendekatannya ini tidak mampu menarik penonton seperti sebelumnya sekalipun menghasilkan pendapatan kotor $282 juta diseluruh dunia. Sekalipun banyak dipuji pengamat namun film ini dianggap sebagai “art film” ketimbang film komersil. Pihak WB sendiri mengatakan mereka tidak merugi namun seharusnya secara komersil mampu lebih sukses. Film ini kembali menuai kritik tajam karena tidak pantas ditonton untuk anak-anak karena ceritanya yang kompleks, serta penggambaran kekerasan dan sensualitas.

NEXT: BATMAN ANIMATED SERIES

1
2
3
4
5
Artikel SebelumnyaBatman: The Movie, Batman versi Panjang Seri Televisi
Artikel BerikutnyaDari Redaksi Montase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.