Bonnie

0
bonnie

Kecil kesempatan bagi penonton film di Indonesia untuk menyaksikan kemunculan genre aksi di antara film-film dalam negeri yang rilis selama setahun. Namun, Bonnie hadir mengawali tahun ini dengan genre aksi disertai drama keluarga. Diarahkan secara kolaboratif oleh dua sutradara baru, yakni Marsha Abidin dan Agus Mawardy atau dikenal pula sebagai Agus Pestol. Agus pula yang menulis skenarionya bersama Amorita D. dalam produksi Tawang Khan Production. Beberapa pemeran tokoh-tokoh sentralnya merupakan pemain baru, yaitu Livi Ciananta, Macho Hungan, dan Devris Brigel. Mengecualikan Ariyo Wahab, Nadila Ernesta, Max Metino, dan Reza Hilman. Bakal jadi bagaimana satu dari sedikit film aksi ini kemudian?

Masa kecil Bonnie (Ciananta) telah dilalui dengan kesedihan dan kehilangan pascakepergian ayahnya, Sambara (Wahab). Sang ayah bersama sahabatnya, Frank (Metino), beramai-ramai dengan kelompok mereka menghadang seorang bos geng mafia dan anak buahnya. Pada saat yang sama memberi waktu sekaligus perlindungan agar istri Sambara, Kinanti (Ernesta) dan putri mereka berhasil kabur. Namun, hanya Frank yang kembali pulang dengan selamat. Bonnie pun tumbuh besar hingga usia SMA dengan lingkungan keras dan ajaran bela diri. Sayangnya, konflik masa lalu sejak bentrokan antara Sambara dan sang bos belumlah usai.

Bonnie diinformasikan bakal berlangsung selama dua jam. Rupanya selama menonton, cerita berjalan dengan perentangan waktu yang berlebihan. Duduk perkaranya sudah diketahui, bahwa akan ada balas dendam. Sang istri korban (Kinanti) juga sudah sering menyambangi salah satu sarang bos mafia incarannya. Pihak musuh pun secara logika tentu terus melakukan pencarian pascakonfrontasi terakhir. Namun, bisa-bisanya masih berkeliaran tanpa kewaspadaan atau mengamankan rumah dengan cara tertentu. Terus-menerus bertahan dengan aksi-aksi biasa yang kerap memosisikan Kinanti, Frank, pula sang tokoh utama, Bonnie pada kekalahan. Takkan bisa dibandingkan dengan eksekusi laga dalam The Raid, karena terlalu jauh gap kemapanannya. Di luaran sana semakin banyak lagi film aksi tentang pembalasan dendam yang lebih mapan dari segala lini. Baik, itu pembandingan yang terlalu jauh.

Kendati demikian, Bonnie tidak lantas membosankan dalam mengemas setiap aksinya yang cenderung lama selesai. Ada faktor pengambilan gambar yang berperan besar memberikan visual variatif nan kreatif dengan tetap punya motif kuat. Untuk menangkap segmen-segmen tawuran secara masif dan megah dari atas, maupun menunjukkan superioritas setelah menewaskan seseorang. Tawuran dua kelompok pelajar dari dua SMA serta konfrontasi dengan para anak buah geng mafia. Walau pada saat yang sama, Bonnie sangat kekurangan gambar-gambar bagian luar dari tempat-tempat penting. Tiga di antaranya yakni rumah sang tokoh utama, lokasi kafe Frank, dan sarang sang bos biasa singgah untuk mengontrol bisnisnya.

Baca Juga  Bad Boys: Ride or Die

Sebuah trik sederhana pula dilakukan oleh pihak penata busana yang memilih warna mencolok untuk pakaian Bonnie (dan satu rekannya). Semata agar secara otomatis membedakan mereka dengan gerombolan besar dari pihak lawan saat memasuki konfrontasi besar-besaran.

Mempertimbangkan film-film aksi pada dasarnya mudah mengabaikan nalar logika dan musabab setiap kebetulan, Bonnie pun tak lepas dari itu. Satu di antaranya seperti momentum Bonnie pindah SMA untuk yang terakhir kalinya, secara kebetulan ialah tempat Macho (Hungan) bersekolah hanya agar memunculkan adegan perkelahian lagi. Juga betapa sering kebetulan Bonnie melewati gang-gang kecil di mana terdapat pelecehan seksual atau perampokan, sehingga menjadi motif tokoh utama beraksi dengan bela dirinya. Padahal entah dia datang dari mana, tetapi tiba-tiba saja ada di lokasi kejadian. Banyak lagi contoh lainnya. Namun, ada tawaran lain dalam Bonnie agar tak melulu seputar berkelahi, yakni drama dalam keluarga sang tokoh utama. Lalu sebagaimana umumnya segmen drama keluarga, akar masalahnya hampir pasti ialah masalah komunikasi.

Bonnie dapat dikatakan sebagai salah satu film aksi dengan kemasan visual menarik, walau kisahnya molor terlalu lama. Bagaimanapun, genre aksi di Indonesia berada dalam jumlah produksi dan ruang popularitas yang masih jauh ketimbang horor, drama, maupun komedi. Jadi adanya Bonnie, meski dengan kelemahan-kelemahannya, tetap perlu diapresiasi dengan baik. Lagipula, Bonnie juga memiliki tawarannya sendiri dari segi visual. Memang disayangkan ceritanya dibuat berjalan begitu lama dengan beragam kebetulannya. Kalau saja tanpa pengambilan gambar yang menarik, tentu Bonnie akan jadi sangat membosankan.

PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaPasar Setan
Artikel BerikutnyaSpaceman
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.