Ketika relasi asmara yang tumbuh di antara dua manusia lintas keturunan menjadi terlarang karena hukum, perjuangan untuk mendapatkan keadilan dan pengakuan digelorakan dalam film Bumi Manusia. Bumi Manusia merupakan film adaptasi novel berjudul sama, salah satu dari roman empat jilid, Tetralogi Pulau Buru, karya besar dari seorang sastrawan legendaris kita, Pramoedya Ananta Toer. Falcon Pictures, salah satu studio film besar yang juga memproduksi Perburuan dan merilisnya pada tanggal yang sama, menyerahkan pengarahan kepada Hanung Bramantyo dengan skenario ditulis oleh Salman Aristo. Film drama-sejarah berdurasi 3 jam ini, dibintangi oleh Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, Ine Febriyanti, Jerome Kurnia, Ayu Laksmi, Dewi Irawan, Hans de Kraker, serta sejumlah pemain berkewarganegaraan Belanda.
Kisah ini adalah tentang petualangan keingintahuan yang memantik pemikiran-pemikiran baru Minke, terhadap kepribadian dan pembawaan sosok Nyai Ontosoroh dan putrinya, Annelies. Minke sendiri dalah seorang siswa H.B.S., sekolah khusus keturunan ningrat atau bangsawan Eropa, asli maupun peranakan campuran. Sementara Nyai Ontosoroh adalah gundik seorang berdarah Belanda, Herman Mellema, namun memiliki wewenang terhadap perusahaan bertanah luas dengan berbagai bidang pekerjaan yang berjalan makmur, dibantu putrinya. Namun sekalipun memiliki ketenteraman secara kasat mata, kedua wanita ini diam-diam menyimpan latar belakang menggiriskan. Rahasia inilah yang memicu ketertarikan Minke terhadap keluarga Mellema, lebih-lebih terhadap kepribadian serta pembawaan sosok Nyai Ontosoroh dan Annelies.
Bumi Manusia menyusun alur ceritanya secara terburu-buru. Banyak konflik yang telah muncul, tidak diakhiri dengan penyelesaian dan penjelasan yang baik sebelum konflik baru dimunculkan. Tindakan ini mengakibatkan timbulnya banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Bumi Manusia tanggung untuk disebut dikepalai oleh Minke, karena kekuatannya kalah oleh sosok Nyai Ontosoroh. Tapi di sisi lain, konflik dan alur cerita hanya bergerak bersama kehadiran Minke. Pembatasan sudut pandang cerita memang telah menjadi teknik yang umum dalam penulisan skenario. Sayangnya, melihat bagaimana sudut pandang tersebut ingin dipertahankan, berakhir dengan hasil yang kurang baik.
Penting bagi Bumi Manusia untuk memupuk sebaik-baiknya karakteristik dari tiga tokoh pentingnya, Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh, melihat kedigdayaan “Eropa” yang menjadi lawan mereka. Tapi dari ketiga tokoh tersebut, hanya Nyai Ontosoroh-lah yang terasa paling dominan dan vokal. Padahal mestinya, sosok Minke-lah yang paling mendominasi cerita ini. Atau setidak-tidaknya sepadan dengan Nyai Ontosoroh, mengingat kebesaran Tirto Adhi Soerjo, nama asli Minke, sebagai seorang tokoh pers dan kebangkitan nasional. Dalam film ini, Minke justru ditenggelamkan dalam drama-roman bersama Annelies. Ine Febriyanti memang betul-betul bermain apik. Aktingnya melambung begitu tinggi melampaui Iqbaal, dan berhasil memaksimalkan karakteristik Nyai Ontosoroh menjadi pribadi yang mendebarkan dan memantik rasa haru.
Petualangan Minke melihat kenyataan dan sosok-sosok baru di luar H.B.S., seperti Annelies dan Nyai Ontosoroh, semestinya lebih banyak dieksplorasi agar hadir dalam medium film. Ini akan membuat peran Annelies dapat lebih maksimal dan aktif, sepadan dengan Nyai Ontosoroh. Bila kemudian ditakutkan sosok Minke akan kian tenggelam. Rasanya justru tidak. Rasa penasaran, petualangan pemikiran, dan semua keingintahuan Minke dapat dieksplorasi lebih jauh lagi melalui teknik visual. Alih-alih hanya membatasi peran Annelies sebagai seorang perempuan dengan fisik rapuh jika sedang naik darah karena cemas, khawatir, depresi, atau berada di bawah tekanan.
Memang tak salah jika kisah roman antara Minke dan Annelies di tengah kepungan perbedaan tiga jenis darah keturunan: Pribumi, Indo, dan Eropa, tak boleh dibaca hanya sebatas kisah biasa dengan latar waktu pada akhir abad 19. Namun, betapa tidak bijak dengan membuatnya seolah-olah tampak Minke tak mampu melakukan banyak hal, padahal ia sendiri seorang cendekiawan lulusan sekolah terpandang, dengan kecerdasan dan pemikiran-pemikiran brilian.
Banyak lubang yang tidak terjelaskan maupun pertanyaan yang tidak terjawab dengan baik dari filmnya. Semata-mata masih akan dapat banyak terjelaskan hanya dari novelnya. Mungkinkah maksud dari sang sineas adalah ingin mengembalikan penilaian utuh terhadap kisah Bumi Manusia ke dalam novel? Mungkinkah ia ingin menyampaikan, bahwa sebaik-baik film buatannya, masih tidak akan mampu menandingi kebesaran novelnya, dalam segala hal? Bumi Manusia pun tak lepas dari koridor sebuah karya komersial. Dua nama yang menempati posisi sebagai sutradara dan penulis skenarionya pun, telah umum dikenal lebih sering melahirkan karya-karya yang bertendensi komersial, dengan intensitas terhadap segmen drama-roman lebih dominan.
Bagi siapapun yang telah merampungkan pembacaan terhadap novelnya, tentu akan banyak menemui celah di antara karya tulis tersebut dengan filmnya. Bagian-bagian interaksi dan relasi menjadi hilang atau muncul lebih cepat. Padahal sejumlah tokoh lain pun memiliki peran penting dalam membangun pemikiran-pemikiran Minke. Tapi malah dimunculkan sekenanya. Agaknya, penyertaan tokoh-tokoh tersebut dilakukan agar tidak ada seorangpun tokoh dalam novelnya absen dari film. Akibatnya, kemunculan mereka pun sekadar formalitas belaka untuk memenuhi persyaratan kelengkapan tokoh supaya sama dengan novelnya. Sementara bagi penonton yang belum sama sekali menyentuh novelnya atau mungkin sudah lupa, akan menganggap film ini adalah kisah drama-roman terlarang dengan bumbu perjuangan melawan ketidakadilan.
Miftachul Arifin – Mahasiswa Magang