Kritik Film: Kriteria dan Penilaian

0

Antara Selera dan Penilaian Obyektif

Secara mendasar, sejatinya semua orang pasti pernah mengkritik film. Komentar apapun tentang filmnya dan sesederhana apapun itu bisa dikatakan sebagai satu bentuk kritik. Beberapa contoh saja yang biasa kita dengar setelah kita menonton film, “ceritanya jelek”, “efek visualnya kasar”, “aktingnya kaku”, “pesan filmnya gak dapet”, hingga bahkan “aku gak ngerti filmnya”. Ini adalah komentar-komentar ringan yang secara langsung sudah memberikan penilaian terhadap sebuah film. Lalu, jika semua orang bisa memberikan penilaian terhadap film, apa bedanya dengan seorang kritikus film?

Dalam kritik film, awalnya kita harus mampu membedakan antara selera pribadi dengan penilaian obyektif. “Saya suka film ini” tentu berbeda dengan “film ini bagus”. “Saya suka film ini” menandakan ini masih merupakan selera pribadi kita dan belum tentu apa yang kita tonton adalah film bagus. Sementara film bagus belum tentu kita menyukai filmnya. Contohnya saja, seri Transformers adalah franchise laris yang sangat disukai penonton, namun secara umum, film-filmnya tidak bisa dikatakan film bagus. Sementara film bagus, saya ambil contoh saja, Roma yang baru lalu meraih Piala Oscar, belum tentu banyak orang menyukainya. Batasan antara film yang kita sukai dan film bagus bisa semakin tipis jika kita semakin banyak tahu tentang film, terlebih seorang kritikus film. Film bagus tidak semata hanya menghibur, namun memiliki satu pencapaian estetik atau bernilai tinggi bagi para penikmatnya serta untuk pengembangan seni film itu sendiri.

Untuk menjadi seorang kritikus film jelas tidak mudah. Di negara-negara yang maju industri filmnya, kritikus film lazimnya memiliki asosiasi yang memiliki spesifikasi dan kriteria tertentu untuk bisa bergabung di dalamnya. Kritikus film tentu memiliki pengetahuan dan pengalaman menonton lebih dari orang kebanyakan. Dia juga harus paham sejarah dan teori film, tahu struktur film, tahu bagaimana bahasa sinematik bekerja, tahu tentang gaya film dan sineas, serta memiliki pengalaman menonton yang sudah tak terhitung. Untuk menjadi seorang kritikus film yang mumpuni butuh waktu dan proses yang panjang. Kelak yang menjadi ukuran adalah bukan sertifikasinya, namun adalah loyalitas para pembacanya. Seorang kritikus yang baik, bakal mampu membuka pikiran pembacanya dan akan mendapatkan banyak hal yang terlewati ketika menonton filmnya. Sederhananya, kritikus film yang baik akan membantu pembaca untuk memahami filmnya lebih baik.

Baca Juga  Good Mother (Festival Sinema Prancis)

Lalu sebenarnya apa sih tolak ukur yang dipakai kritikus untuk menilai film? Mau tidak mau, secara umum kritikus film pasti akan melakukan komparasi atau membandingkan antara satu film dengan film lainnya. Ketika mereka menonton sebuah film, secara sadar atau tidak, pengalaman menonton mereka sebelumnya akan membuka berbagai opsi atau pilihan kriteria yang akan mereka pakai untuk menilai filmnya. Kita pun sebagai penikmat film, pasti melakukan hal ini. Jika kita berkomentar, “ah adegan aksinya biasa saja”, pasti kita sebelumnya telah banyak menonton film yang adegannya aksinya lebih baik dari film ini. Masalahnya, sering kali ketika kita mengatakan, “pokoknya aksinya bagus deh” dan ditanya bagusnya di mana, orang awam biasanya akan bingung menjawabnya. Namun, seorang kritikus film tentu harus bisa menjawabnya dengan argumen yang memadai. Intinya bukan pada kesimpulan film ini jelek atau bagus, namun lebih pada alasan atau argumen yang dipaparkan. Ini mengapa kriteria atau tolak ukur untuk menilai film menjadi teramat penting bagi seorang kritikus film.

NEXT: KRITERIA DALAM MENILAI FILM

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaTwivortiare
Artikel BerikutnyaPerkara Moralitas dan lain-lain dalam Gundala (2019), Sebuah Telaah dengan Spoiler
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.