Cloudy with a Chance of Meatballs (2009)
90 min|Animation, Adventure, Comedy|18 Sep 2009
6.9Rating: 6.9 / 10 from 255,763 usersMetascore: 66
A local scientist is often regarded as a failure until he invents a machine that can make food fall from the sky. But little does he know that things are about to take a turn for the worst.

Cloudy with a Chance of Meatballs (Cloudy) adalah film animasi fantasi produksi Sony Pictures Animation yang diperuntukkan bioskop 3D. Film diarahkan oleh Christpher Miller dan Phil Lord. Film ini diadaptasi dari buku anak-anak berjudul sama karangan Judy dan Ron Barret. Turut mengisi suara filmnya adalah Bill Hader, Anna Faris, James Caan, Bruce Campbell, Benjamin Bratt, hingga Mr. T.

Flint Lockwood (Hader) sejak kecil telah bercita-cita menjadi seorang penemu. Flint tinggal di sebuah kota bernama Swallow Falls di pulau kecil yang terkenal dengan ikan sardennya. Suatu ketika kondisi ekonomi kolaps dan membuat masyarakat kota hanya mampu mengkonsumsi ikan sarden. Flint yang selama ini selalu gagal dengan temuannya berupaya untuk mengatasi masalah ini dengan menciptakan sebuah alat yang mampu mengubah air menjadi makanan. Di tempat lain, untuk menggairahkan ekonomi kota, walikota Swallow Falls membuka sebuah taman bermain yang diberi nama “Sardine Land” yang diliput oleh reporter pemula, Sam Sparks (Anna Faris). Di saat bersamaan Flint mencoba alat temuannya yang justru merusak segala acara pesta pembukaan. Namun diluar dugaan sesuatu yang tak terduga berjatuhan dari langit.

Hujan Makanan? Bagaimana bisa? Sungguh tak masuk akal. Judulnya saja sudah sangat menggoda kita untuk menonton filmnya. Ternyata diluar dugaan, Cloudy memiliki kekuatan di segala aspeknya, kisah yang orisinil, pencapaian grafis yang mengagumkan, hingga unsur komedi yang sangat menghibur. Pencapaian grafisnya sungguh tidak kalah serta menggunakan gaya visual yang berbeda dengan film-film animasi buatan Pixar dan Dreamworks. Sekalipun penuh warna-warni namun gambarnya mampu disajikan begitu natural. Menonton di teater biasa pun sudah tampak luar biasa entah bagaimana jika menonton di bioskop 3D. Hujan (makanan) tidak pernah terlihat begitu indah seperti ini. Sungguh memesona dalam satu sekuen melihat satu kota penuh dengan ice cream yang warna-warni dimana-mana.

Baca Juga  The Mummy

Disamping kisah yang orisinil, Cloudy juga sangat memperhatikan detil cerita. Hal yang seolah tak berfungsi atau sepele pada awalnya ternyata mampu menjadi faktor penting penentu cerita. Contohnya seperti barang-barang temuan Flint “spray on shoes”, tikus terbang, karakter Baby Brent, Manny si kamerawan, hingga Steve, si monyet yang bisa berbicara. Satu hal yang jarang terjadi di film animasi sejenis. Mungkin berhubungan dengan cerita, klimaksnya saja yang sedikit mengecewakan. Bicara soal unsur komedi, nyaris di semua aspek filmnya mampu menimbulkan banyolan dari waktu ke waktu. Kelucuan-kelucuan tidak hanya ditampilkan karakter utama dan pendukung saja namun juga figuran seperti para penduduk kota. “Saya sepertinya pernah bermimpi tentang ini” ujar seorang penduduk kota sambil berlari ketika donat raksasa mengejarnya.

Sebelum tontonan film utama dimulai, muncul iklan terkait film ini menyinggung anak-anak kelaparan di negara dunia ketiga. Setelah menonton filmnya ternyata cerita filmnya sama sekali tidak menyinggung ini. Pesan moral utamanya justru sederhana, yakni jangan terlalu banyak makanan sampah (junk food). Tidak seperti film-film animasi 3D sejenis, Cloudyjuga sangat berani menggunakan hanya bintang-bintang kelas dua untuk mengisi suaranya. Sukses komersil film ini mampu menjawabnya. Secara umum Cloudy merupakan sebuah sajian tontonan keluarga yang ringan dan sangat menghibur serta unik dengan pesan moral yang sederhana. (B)

Artikel SebelumnyaSurrogates
Artikel BerikutnyaNoir dan Neo-Noir: Apa Bedanya?
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.