di ambang kematian

Apakah memang ada cara untuk bisa lepas atau membatalkan perjanjian dengan iblis atau setan? Ataukah para tokoh dalam Di Ambang Kematian arahan Azhar Kinoi Lubis hanya bisa terus-menerus lari? Sumber cerita yang digarap skenarionya oleh Erwanto Alphadullah ini adalah dari thread (utas) viral di Twitter dengan nama akun @JeroPoint. Melalui produksi MVP Pictures, para pemerannya antara lain Taskya Namya, Giulio Parengkuan, T. Rifnu Wikana, Wafda Saifan Lubis, Kinaryosih, Raya Adena Syah, dan Faras Fatik. Sebaik apa olahan cerita horor dalam Di Ambang Kematian?

Yoga (Fatik) dan Nadia (Adena) hanyalah sepasang kakak-adik yang ingin menghabiskan waktu dengan nyaman bersama Bapak (Rifnu) dan Ibu (Kinaryosih) mereka pada malam tahun baru 2002. Sang ibu yang sakit-sakitan seketika tampak membaik. Namun, sesaat setelah jarum jam melewati angka 12 malam dan memasuki tahun baru, Ibu mereka meninggal dengan cara tak wajar. Sayangnya, sang bapak, Suyatno, terkesan menutupi pelbagai informasi dari mereka hingga bertahun-tahun lamanya. Sampai teror horor pun kembali datang dan mengancam nyawa salah seorang di antara mereka.

Ada banyak parameter dalam menilai film horor dan salah satunya adalah melalui pembangunan suasana horor itu sendiri. Trik horor apa yang sineas gunakan serta apakah trik-trik tersebut secara (terasa) natural ataukah dipaksakan. Cara kemunculan trik-trik tersebut memengaruhi bagus atau tidaknya sebuah film horor. Termasuk Di Ambang Kematian. Bangunan horornya secara terang-terangan mengandalkan pula beragam-macam penampakan, di samping scoring atau efek suara mengejutkan, adegan-adegan berdarah pula penyiksaan ke diri sendiri, serta teror-teror.

Bicara soal aspek suara atau musik juga beberapa kali muncul dengan berlebihan pada segmen-segmen awal film. Misalnya, setiap kali Di Ambang Kematian menampilkan keterangan lompatan waktu (6 bulan kemudian, 9 tahun kemudian) di layar. Tak ada urgensi untuk membarengi munculnya keterangan tersebut dengan hentakan satu kali lewat suara yang keras. Cara yang instan untuk mengejutkan penonton. Itu pun gagal. Malahan, mengganggu.

Lari, melepaskan diri, atau mengakali perjanjian dengan iblis atau setan sebetulnya bukan kali pertama ini. Sebelum Di Ambang Kematian, sudah ada Pengabdi Setan 2: Communion (2022) serta Kajiman: Iblis Terkejam Penagih Janji (2023). Di Ambang Kematian pun seakan ingin mengemas alur ceritanya agar penuh misteri pada segmen-segmen awal, dan baru mulai membuka berbagai informasi saat menuju ke bagian akhir. Namun, pada saat yang sama cara ini menimbulkan ketidakpuasan terhadap bagian awal cerita. Rasa tenang atas pembukaan satu per satu informasi baru diperoleh ketika cerita telah berjalan setengah. Ketika berbagai kejanggalan sudah kelewat sesak memenuhi kepala untuk dipertanyakan terhadap Di Ambang Kematian.

Adegan-adegan “bergelimang” darah Di Ambang Kematian rupanya berhasil menciptakan ketidaknyamanan. Cara-cara penyiksaan yang hampir tak lazim dalam film-film horor “rilisan satu tahun ke belakang”. Satu di antaranya muncul melalui sebuah penyiksaan diri terakhir salah seorang tokoh. Meski luka menganga tak kunjung sembuh yang dialami beberapa tokoh kurang menimbulkan ancaman. Apakah tidak ada perhatian terhadap luka-luka mereka? Apakah perban mereka tidak pernah diganti? Tidakkah luka-luka tak kunjung sembuh itu membusuk? Apalagi, salah seorang yang mengalaminya sampai melewati sekitar 10 tahun dengan luka-luka itu.

Baca Juga  Budi Pekerti

Sejumlah informasi tak kalah penting yang hilang juga pada akhirnya belum terjawab hingga akhir. Misalnya, dampak atas daging-daging yang secara rutin dibagikan Suyatno terhadap kehidupan para tetangga; atau berapa rentang waktu ia harus mempersembahkan tumbal kepala. Apakah pembagian daging-daging tersebut memang termasuk dalam perjanjian? Apa akibatnya bila Suyatno tidak membagikannya? Cakupan cerita Di Ambang Kematian sebetulnya mengandung potensi untuk lebih berbahaya dan mengerikan lagi karena secara tidak langsung melibatkan warga sekitar.

Kendati demikian, olah peran para pemain sentral yang hidup dilingkupi ketakutan bertahun-tahun dilakukan dengan baik oleh mereka. Termasuk Rifnu Wikana dengan karakter khasnya yang tetap mencurigakan dan selalu terkesan menyembunyikan niat lain, walau bersikap baik kepada siapa pun. Wafda pun memainkan karakter emosionalnya sebagai Yoga dengan bagus. Meski karakternya mengandung masalah pula karena hanya menjadi beban dalam keluarga. Kecerdasannya pun tak sebaik Nadia. Alih-alih mencoba mencari jalan keluar “lebih cerdas” seperti dilakukan Janu (Chicco Kurniawan) dalam Primbon (2023), ia justru kebingungan dalam bersikap serta dengan dirinya sendiri.

Segi teknis Di Ambang Kematian memang berhasil mendatangkan keseraman horor dan serangkaian teror, tetapi luput untuk memanusiakan salah seorang tokohnya. Sejak cerita bermula, film ini cenderung memosisikan para tokohnya sekadar hidup hanya menunggu giliran untuk mati kapan saja. Ada banyak informasi rumpang yang ditinggalkan oleh Erwanto. Azhar dan Erwanto pun, walau sudah beberapa kali menggarap film horor, jarang sekali menunjukkan buah karya terbaik. Paling mendingan hanyalah Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018) arahan Azhar.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaPetualangan Sherina 2
Artikel BerikutnyaThe Exorcist: Believer
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.