Banyak hal menarik ketika melihat data yang ditampilkan satu artikel picodi.com yang bertajuk, Perbedaan Harga Tiket Bioskop di Seluruh Dunia. Entah data ini adalah harga tiket temahal dan mencakup seluruh negara di dunia, belum diketahui secara pasti. Sebab, negara-negara dengan harga tiket tertinggi, macam Bahrain, Qatar, Swiss, Norwegia, Swedia tidak ada dalam daftar di atas. Baca artikel montasefilm: Harga Tiket Bioskop di Dunia. Dari data picodi.com, negara kita ternyata masuk dalam daftar. Uniknya lagi, data ini membagi antara harga tiket hari biasa dengan hari libur serta harga tiket 2D dengan 3D. Coba simak tabel-tabel di bawah.

Dari data di atas, tampak Indonesia memiliki harga yang relatif lumayan untuk tiket hari biasa, yakni USD 3,5 (sekitar Rp 50.000,-). Harga rata-rata Rp 50.000,-, yang benar saja? Angka ini menandakan harga tiket studio eksklusif yang bisa mencapai ratusan ribu, macam Premiere di XXI atau Velvet Class di CGV juga ikut dihitung. Dari data tabel di atas, Indonesia termasuk yang paling murah harga tiketnya. Hanya saja prosentase harga tiket di hari libur bisa mencapai 2x lipatnya (+ 50%) dan ini termasuk yang tertinggi di dunia. Ternyata pula yang menarik, di banyak negara, harga tiketnya sama antara hari biasa dan hari libur, seperti di Hong Kong, AS, dan Inggris. Dari data di atas pula, tampak ada 9 negara yang memiliki harga tiket rata-rata di atas USD 10 (Rp 142.000,-). Wow, di sini banyak bioskop bakal tutup jika di hari biasa mematok harga sebesar itu. Hong Kong menjadi pemuncak dengan harga tiket USD 16.6 (Rp 230.000)! Angka sebesar itu bisa untuk menonton satu rombongan sekitar 7 orang jika di Indonesia!

Baca Juga  Joker Dari Masa ke Masa

Bioskop 3D ternyata ternyata tidak sepopuler yang dibayangkan, berbeda ketika pertama kali teknologi ini muncul pada dekade lalu. Dalam perkembangan, banyak penonton tidak merasa nyaman untuk menggunakan kacamata 3D sehingga porsi tontonan bioskop 3D semakin berkurang. Harga tiketnya pun, berselisih tak jauh antara 2D dan 3D, biasanya hanya Rp 5000,- atau bahkan kadang sama. Dari data di atas, Indonesia hanya berselisih sekitar 13% saja dari harga tiket 2D. Rata-rata semua negara di dunia memang memiliki harga tiket 3D lebih mahal dari 2D. Jerman tercatat merupakan negara yang memiliki selisih harga paling besar, yakni 45%.

Apa yang sebenarnya ditunjukkan data-data di atas adalah untuk kepentingan perhitungan box-office. Harga tiket week end lebih tinggi karena faktanya banyak orang yang menonton pada hari libur. Di AS pun, perhitungan raihan box-office pada masa week end bisa mencapai beberapa kali lipat dibandingkan hari biasa. Harga tiket di negara kita, juga ternyata tercatat yang termurah dibandingkan negara-negara lainnya. Seperti kalian ketahui, perhitungan “box-office” kita adalah menggunakan jumlah penonton. Coba bayangkan, jika harga tiket rata-rata kita di atas USD 10, raihan totalnya kemungkinan bakal membawa negara kita sebagai salah satu yang terbesar di Asia, di bawah Tiongkok dan Korea Selatan. Dengan penambahan jumlah layar tanpa menaikkan harga tiket pun, juga tetap akan menambah jumlah penonton kita. Menonton film, rupanya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita secara umum dan bukan menjadi milik kota-kota besar lagi. Situasi ini tentu bagus buat industri perfilman kita.

Sumber: Picodi.com

Artikel SebelumnyaBox Office 2019: Dominasi Disney
Artikel BerikutnyaPerburuan
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.