Setelah Ivanna, Kimo Stamboel kembali lagi dengan film horor arahannya yang lain, Jailangkung: Sandekala. Salah satu ikon horor lokal yang sama populernya dengan kuntilanak dan pocong. Kimo pun menulis skenario film ini bersama Rinaldy Puspoyo. Seseorang yang jarang kita dengar. Film horor thriller misteri (yang tanpa sengaja melibatkan komedi) produksi SkyMedia, Rapi Films, dan Legacy Pictures ini diperani antara lain oleh Dwi Sasono, Syifa Hadju, Titi Kamal, Muzakki Ramdhan, Giulio Parengkuan, Mike Lucock, dan T. Rifnu Wikana. Mengingat Ivanna yang kurang berhasil mempertahankan kebesaran semesta Danur (secara kualitas filmis), bagaimana dengan film ini?
Adrian (Dwi Sasono) membawa keluarganya berlibur ke suatu tempat. Namun liburan keluarga yang mestinya bertujuan untuk mengeratkan hubungan antara istrinya, Sandra (Titi Kamal) dan anak keduanya, Kinan (Ramdhan) dengan anak pertamanya Niki (Syifa) ini malah berujung insiden. Kinan tiba-tiba hilang bak ditelan bumi. Insiden yang mengarah pada tragedi berantai di area lokasi yang sama. Meski pencarian melibatkan banyak pihak yang dipimpin oleh Majid (Mike), Kinan tetap tidak dapat ditemukan selama berhari-hari. Niki lantas bekerja sama dengan Faisal (Giulio), keponakan Majid, yang kemudian mengarahkan penyelidikan mereka berdua ke fakta mengerikan.
Rasanya, banyak keteledoran yang Kimo lakukan dalam film horor arahannya kali ini. Alih-alih menyeramkan, Jailangkung: Sandekala malah cenderung lucu. Walau ciri khas sineas ini dalam meletakkan adegan-adegan berdarah tidak padam. Jailangkung: Sandekala agaknya ingin mencoba melakukan cara lain dalam menghadirkan kisah seputar jailangkung, namun dengan eksekusi yang ceroboh. Tidak dinyana, setelah sang sineas mengalami kemunduran dalam Ivanna, kini ia pun kembali merosot saat mengarahkan Jailangkung: Sandekala. Mestinya ia telah menyadari, bahwa mengandalkan ciri khasnya melalui adegan-adegan slasher tidak lantas menyelesaikan seluruh persoalan dalam mengerjakan film horor.
Jailangkung: Sandekala pun terang-terangan tampil dengan aneh dan tak logis sejak film bermula, melalui warna gambar dan cahaya yang tidak pernah konsisten. Sesekali warna yang muncul adalah realistis, sebagaimana kondisi seharusnya di lokasi berlangsungnya peristiwa. Namun ketika gambar beralih, warnanya menjadi begitu kuning. Itupun tanpa motivasi yang jelas. Akan bisa diterima, jika terdapat faktor konsep dramatisasi cerita, momen perenungan, atau hal penting lain sebagai alasannya. Namun ini tidak. Seakan hendak menghadirkan efek suasana sore hari lewat warna cahaya, tetapi gambar yang muncul berikutnya sudah berbeda warna. Agak aneh, mengingat lebih dari satu dekade lalu sang sineas mengarahkan Rumah Dara (2009) yang begitu fenomenal pada masanya.
Sesudah kemunculan sejumlah film horor dengan pengerjaan yang bagus dan eksekusi matang, memang butuh upaya yang agak lebih keras untuk membuat tandingan film-film tersebut. Namun bukan berarti bisa mengabaikan elemen-elemen lain atau logika non-horor. Seperti yang dilakukan KKN di Desa Penari misalnya, yang menghapus beberapa lapisan drama padahal itu diperlukan untuk menjembatani antarperistiwa. Bahkan sekelas Kimo Stamboel yang sudah memiliki ciri khas tersendiri pun terseret arus kesulitan ini lebih dari sekali. Baik dengan jailangkung sebagai sosok ikonik horor dalam negeri maupun melalui Ivanna yang menjadi bagian dari kebesaran semesta Danur. Rupanya keberadaan ciri khas tersebut tak sepenuhnya membantu.
Jailangkung: Sandekala, dengan segala kekurangannya, tetap menyuguhkan sensasi horor yang terbilang cukup baik pada awal film hingga pertengahan. Terutama pada rangkaian peristiwa saat salah seorang tokoh sentral berada dalam rumah sendirian dan memasuki salah satu kamar. Kita jarang menyaksikan secara spesifik, salah satu trik horor ini dalam film-film horor lain. Walau saat memasuki segmen-segmen akhir cerita, arah angin horor dari film ini tidak lagi terasa seram, melainkan justru lucu. Kimo barangkali bisa menutupi degradasi sensasi horor dalam Jailangkung: Sandekala, dengan rasa penasaran dari sisi misteri dan ketegangan dari thriller slasher atau adegan berdarah-darah ciri khasnya. Namun eksekusi konyol terhadap beberapa adegan justru mengacaukan kualitas keseluruhan film. Terutama seusai melewati setengah cerita.
Tidak berhenti di situ saja. Kimo dan Rinaldy pun memasukkan tokoh yang tidak penting dengan porsi tampil lumayan lama di layar. Alih-alih bermotif kuat, keberadaannya justru mengganggu sensasi ketegangan dan nuansa menyeramkan dalam bagian yang melibatkan tokoh tersebut. Padahal mestinya, bagian tersebut dapat lebih menegangkan dan krusial dalam film horor. Jika tanpa dia. Namun malah berakhir lucu, bahkan konyol. Tanpa kehadirannya, boleh jadi bagian tersebut dapat menjadi tribute untuk The Conjuring atau Insidious. Meski penampilan dari Dwi Sasono tetap berkelas seperti biasanya.
Meski tampaknya dapat menghadirkan nuansa horor dengan baik, ternyata Jailangkung: Sandekala malah berakhir konyol. Terlepas dari maksud sang sineas melakukannya dengan sengaja atau tidak, timbulnya kesan lucu yang tidak pada tempat dan waktunya justru mengacak-acak bangunan horor filmnya sendiri. Melihat penurunan kualitas dari Kimo lewat Ivanna kemudian Jailangkung: Sandekala hanya dalam waktu satu tahun, bisakah ia mengembalikan namanya seperti satu dekade lalu? Rinaldy yang membantunya menulis pun bukanlah seorang dengan rekam jejak film yang padat. Meski produksi film ini sendiri sudah dinaungi oleh Rapi Films dan Legacy Pictures yang juga melahirkan Perempuan Tanah Jahanam, Pengabdi Setan dan sekuelnya, serta seri Jailangkung lainnya.