Belum pernah Rizal Mantovani terlihat lagi sepanjang tahun kemarin mengarahkan film horor sejak Mumun (2022), sutradara seri Kuntilanak (lama dan baru) ini hadir kembali melalui Kereta Berdarah. Sajian horor dengan skenario garapan Erwanto Alphadullah di bawah naungan produksi MVP Pictures. Diperankan antara lain oleh Hana Malasan, Zara Leola, Putri Ayudya, Kiki Narendra, Totos Rasiti, Yama Carlos, dan Fadly Faisal. Horor dalam kendaraan berjalan terbilang jarang, bagaimana hasil arahan dan tulisan Rizal dan Alphadullah?
Sebuah hutan wingit teramat luas mulai dibelah untuk proyek rel kereta wisata Sangkara. Kedua petingginya sama sekali tidak memedulikan peringatan dari seorang paranormal sewaan perusahaan. Proses pengerjaannya pun menelan korban. Namun, fakta tersebut ditutup rapat-rapat atas kesepakatan antara Bupati (Narendra) dan masinis Kereta Sangkara (Rasiti). Sampai tiba hari peresmian sekaligus perjalanan perdana melintasi rel tersebut dari Stasiun Sangkara menuju sanggraloka (resor) Sangkara, tanpa para penumpang tahu akan bagaimana nasib mereka nantinya. Termasuk kakak-adik Purnama (Hana) dan Kembang (Leola), serta seorang istri dari salah satu pegawai proyek.
Entah dari tren film horor Indonesia yang mana dan sejak kapan, belakangan eksekusi genre ini melalui adegan-adegan sadis berdarah-darah atau gore jadi makin jamak saja. Dulu adegan-adegan macam pematahan tulang, anggota badan hancur atau terpotong, menebas, menyayat, dan menusuk, hingga darah menyembur deras hanya bisa dijumpai saat menonton horor arahan Kimo, Timo, atau sesekali Joko Anwar. Namun, akhir-akhir ini sineas lain mulai makin sering mengandalkan formula yang sama untuk menunjang sisi menarik dalam visual film-film mereka. Lihat saja yang dilakukan Azhar Kinoi Lubis dalam Di Ambang Kematian (2023), Rako Prijanto melalui Para Betina Pengikut Iblis (2023), Ginanti Rona lewat Qorin (2022), bahkan Garin dengan Puisi Cinta yang Membunuh (2023), hingga Kereta Berdarah ini. Persis yang terjadi pascarilis Pengabdi Setan (2017) dulu.
Pun demikian gambaran sosok seram yang kini lebih layak disebut monster. Bukan lagi sekadar hantu-hantu lokal macam pocong, kuntilanak, atau semacamnya, melainkan dengan efek riasan atau visual sesuatu atau seseorang yang tak keruan bentuk atau wujudnya. Dalam narasi film kadang disebut iblis oleh para tokohnya. Namun, jelas bukan lagi terdefinisi sebagai golongan hantu lokal pada umumnya. Begitulah visualisasi penampakan para penunggu hutan keramat dalam Kereta Berdarah. Walau sang penulis malah fokus terhadap penampakan demi penampakan, tanpa ada informasi konkret mengenai identitas –minimal nama—si bos atau ratu yang menjadi sorotan. Sosok yang ditampilkan seolah sebagai penguasa tertinggi para penunggu seantero hutan. Serupa hantu dalam Waktu Maghrib (2023) yang juga tidak diketahui sampai akhir identitasnya.
Perihal horor dalam gerbong kereta pun tercatat bukan kali pertama ini dibuat. Walau memang terhitung jarang, Kereta Berdarah merupakan yang ketiga setelah Kereta Hantu Manggarai (2008) dan Kereta Setan Manggarai (2009). Bedanya, Kereta Berdarah bukan berangkat dari legenda urban, melainkan isu lingkungan. Juga lebih tegas menyajikan horor dalam kendaraan yang (hampir) terus bergerak berupa kereta api dengan setiap gerbongnya, dibanding sekadar menggunakannya sebagai lokasi semata. Meski eksekusi adegan-adegan horornya lebih mirip pembantaian sepihak daripada konfrontasi antara manusia dan lelembut. Tak ada ketegangan dari aksi lain, misalnya kejar-kejaran di luar gerbong, perlawanan berarti, atau menemukan satu trik untuk mengakali deteksi para hantu.
Serangan-serangan dari para makhluk penunggu hutan juga malah tak pandang bulu. Kurang adil sekali terhadap para korban yang semenjak awal tidak punya urusan dengan perusakan hutan. Bahkan mereka sendiri sudah menjadi korban dari ketidakpedulian para pelaku akan lingkungan maupun eksistensi “penghuni” hutan. Ibarat, nasib para penumpang Kereta Sangkara telah diputuskan sejak mereka memasuki gerbong.
Keretanya pun tidak diketahui bakal menempuh jarak lintasan sepanjang berapa kilometer. Begitu pula luas hutan yang diceritakan menjadi daya tarik perjalanan kereta wisata Sangkara. Kendati ada dan tiadanya informasi tersebut lebih kurang tak banyak berpengaruh, tetapi tanpa itu artinya lokasi hutan, rel, berikut stasiunnya berada di daerah antah-berantah. Ketika pada saat yang sama tersebut daerah Solo dan Jakarta. Sang penulis juga lupa untuk menyertakan keterangan transisi waktu agar muncul di layar. Meski tak berselang lama hingga beberapa tahun memang, tetapi tetap saja perlu agar tergambar rentang waktu pembiaran kasus yang terjadi selama masa pengerjaan rel kereta. Padahal Alphadullah menyertakannya dengan baik dalam Di Ambang Kematian.
Kereta Berdarah tampak memukau lewat sadisme adegan-adegan berdarahnya dan semburan darah di mana-mana, tetapi justru tak adil memperlakukan tokoh-tokohnya. Karakter buruk yang merusak hutan dan yang hanya ingin mencari keadilan diperlakukan sama. Bahkan para tokoh tidak diberi kesempatan dengan lebih layak untuk memperjuangkan hidup mereka dalam signifikansi situasi gawat darurat dan menegangkan yang terus bereskalasi. Apalagi dengan formula horor akhir-akhir ini yang hampir selalu mengandalkan adegan-adegan gore. Sang penulis pun masih mengandalkan cara penulisannya dari Di Ambang Kematian dengan mengumpulkan banyak informasi tersembunyi untuk dibuka belakangan.