Telah lama sekali sepertinya tidak ada angin segar dari dokumenter panjang Indonesia mengisi slot layar lebar. Lebih-lebih sejarah. Sampai Lola Amaria dan Gunawan Raharja datang dengan Eksil. Dokumenter sejarah ihwal para mahasiswa yang dikirim untuk belajar ke luar negeri, tetapi lantas tak bisa pulang karena terjadi peristiwa tragis di dalam negeri. Produksinya dilakukan melalui kerja sama antara Lola Amaria Production dengan Yayasan Bumi Karya Lestari. Empat di antara para eksil yang menjadi narasumber ialah Hartoni Ubes, Sarjio Mintardjo, I Gede Arka, dan Asahan Aidit. Seperti apa dokumenter penting ini dikerjakan oleh Amaria dan Raharja bersama tim mereka?
Tahun-tahun kelam sekitar 1965 di Indonesia bukanlah masa-masa untuk hidup tenang. Puncak siasat politik seorang anggota militer yang berdampak ke nyaris seluruh penjuru negeri dan sendi kehidupan setiap lapis masyarakatnya. Termasuk bagi para pemuda Indonesia yang mendapat beasiswa pendidikan ke luar negeri. Mulanya, mereka berangkat sebagai pelajar dan mahasiswa yang menimba ilmu di negara-negara lain untuk kemudian pulang dan membantu membangun tanah air. Namun, nahasnya nasib mereka malah menggantung hingga lebih dari 30 tahun, hingga kehilangan status kewarganegaraan dan sulit berkomunikasi dengan keluarga sendiri di kampung halaman.
Segar rasanya menyaksikan kehadiran dokumenter –terutama tentang sejarah—di antara kepungan film-film genre populer (horor, drama, komedi) selama ini. Sejarahnya juga mengenai informasi seputar isu-isu yang akan selalu sensitif, seksi, sekaligus kontroversial kapan pun diangkat ke muka publik. Topik-topik terkait orang-orang yang “terlupakan” dalam tragedi sejarah kelam bangsa Indonesia di sekitar tahun 1965 dan 1998. Eksil mengisahkan betapa memilukan puluhan tahun tak bisa pulang ke negeri sendiri hanya gara-gara masalah politik. Ketika keserakahan dan ambisi golongan pribadi dianggap lebih penting di atas hak asasi manusia dan stabilitas kesejahteraan masyarakat sendiri.
Walau banyak film telah menceritakannya dalam berbagai bentuk, tetapi segala yang terhubung dengan dua tahun tersebut masihlah belum usai hingga hari ini. Dua yang paling ramai dan sama-sama dokumenter, apalagi kalau bukan Jagal (2014) dan Senyap (2012) arahan Joshua Oppenheimer. Nama sineas ini juga beberapa kali tersebut dari satu-dua narasumber dalam Eksil.
Eksil ialah kisah ihwal para mahasiswa yang ditolak oleh negara sendiri untuk pulang dari sudut pandang mereka. Didukung beragam informasi komprehensif mengenai upaya-upaya mereka, situasi pada tahun-tahun itu, serta carut-marut bangsa dengan setiap manuver politik para petinggi. Eksil nyatanya tak sekadar cerita kehidupan mereka –yang diabaikan negara, selama puluhan tahun bertahan hidup di luar negeri sambil terus memendam rindu akan kampung halaman. Puluhan tahun tanpa kewarganegaraan hingga pindah negara. Ada data-data sampingan pula karena tak lepas dari faktor eksistensi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan siasat sang presiden kedua. Sorotan terhadap keduanya cukup besar pula dalam dokumenter ini.
Menonton Eksil bak mengikuti penyibakan informasi baru seputar sejarah negeri ini. Luka-luka lama dari cerita masa lalu yang takkan kunjung sembuh. Mereka, hanya ingin pulang serta hidup tenang dan damai di tanah kelahiran. Jelas, melalui dokumenter ini para eksil pun sepaham mengenai sang mastermind yang masih selamat sampai hari ini. Aksi Kamisan saja masih ada sampai sekarang. Apalagi bila memperhatikan setiap data yang muncul sepanjang film berjalan. Seakan telah menjadi rahasia umum. Banyak orang sudah sama-sama tahu, tetapi tak pernah memungkinkan untuk mengutarakannya.
Eksil yang pada dasarnya menyoroti cerita hari-hari para eksil memasukkan pula masa-masa sepuh mereka. Tanpa terkecuali juga beberapa yang meninggal dan dimakamkan di negara lain. Hari-hari tua nan penuh rasa sepi, terus menanti kabar, kapan bisa secara betul-betul aman dan dengan tenang untuk pulang ke negeri sendiri. Salah satu yang dapat dikatakan menjadi momen puncak empati dan emosi ialah saat upacara kematian Sarjio Mintardjo diiringi lagu Indonesia Pusaka. Walau demikian, tidak lantas Eksil hanya tentang kesedihan. Tetap ada pula waktu-waktu menyenangkan bagi mereka, selama masih berkaitan dengan Indonesia.
Eksil pun bukan hanya menampilkan para narasumber yang tengah bercerita atau footage hari-hari mereka, melainkan pula ilustrasi dari cerita-cerita tersebut. Saat-saat mereka mesti berpindah-pindah negara hingga mengalami represi. Tidak ada rekaman peristiwa atau dokumentasi audiovisual dari cerita-cerita tersebut. Jadi satu-satunya jalan agar dapat menyediakan gambaran kejadian lebih jelas ialah merekonstruksinya dalam bentuk ilustrasi hingga motion picture. Walau kadang agak sulit mengingat narasumber mana yang sedang mengiringi gambar-gambar tersebut dengan ceritanya.
Eksil secara komprehensif menyibak satu lagi dampak tragedi kelam sejarah Indonesia terhadap masyarakatnya sendiri, melalui sudut pandang mereka yang “diabaikan”. Patut diapresiasi dengan baik bagaimana sang sineas melakukan riset dan menyambung lidah para eksil, meneruskan suara-suara mereka agar lebih besar dan meluas untuk diketahui khalayak awam –termasuk generasi muda—kiwari. Eksil juga, bagaimanapun, mengisi kekosongan film-film Indonesia akan kehadiran dokumenter sejarah. Utamanya yang terlupakan. Agaknya sejak mengarahkan 6,9 Detik (2019) dengan biografi dramanya, Amaria memiliki perhatian terhadap cerita-cerita tentang ke-Indonesiaan, bela negara, atau kemanusiaan. Demikian halnya Raharja yang tampak punya kecenderungan dengan kisah-kisah keluarga macam dua film tulisannya, yaitu Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti (2022) dan Yang Tak Tergantikan (2021).